Bahan Khotbah Natal Umum (Bongi Ni'amoni'õ), Rabu, 25 Desember 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Tema:
Marilah kita pergi ke Betlehem – Talabu iada’e möi ita ba Mbetilekhema (Lukas 2:15b)
8 Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. 9 Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan.
10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
11 Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.
12 Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”
13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya:
14 “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”
15 Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.
Di kegelapan malam yang dingin-sunyi, tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi para gembala, dan mereka sangat ketakutan. Tetapi, malaikat itu meneguhkan mereka untuk tidak takut sebab: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Mesias, Tuhan di kota Daud” (Luk 2:11). Kabar sukacita ini disampaikan oleh para malaikat kepada para gembala. Begitu mendengar kabar gembira itu, para gembala segera bangkit, meninggalkan ternaknya dan berseru “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem…,” serta bersama berjalan mencari tempat kelahiran Yesus. Mereka pun menemukan bayi Yesus yang terbaring dalam palungan.
Para gembala adalah gambaran orang-orang miskin dan sederhana yang menaruh pengharapan akan keselamatan pada Allah. Mereka sering dipandang sebagai orang pinggiran dan kurang diperhitungkan dalam kehidupan sosial. Mereka tinggal di luar kota dan tidak diperkenankan terlibat dalam banyak kegiatan atau peristiwa penting. Mereka biasa tinggal di tempat-tempat yang jauh dari kota, tinggal di padang rumput bersama dengan kambing domba gembalaannya.
Ketika malam tiba, suasana mereka diliputi kegelapan, kedinginan, dan sunyi-senyap. Sepanjang hari – sepanjang malam, mereka banyak menghabiskan waktu di padang rumput, hampir tidak ada kesempatan untuk menikmati kebebasan di kota. Selain suasana panas di siang hari dan dingin serta sunyi-senyap pada malam hari, mereka juga harus waspada karena sewaktu-waktu ada ancaman, terutama dari binatang buas yang hendak memangsa ternak yang mereka gembalakan. Intinya, hampir tidak ada kenyamanan dan kebebasan yang dapat dinikmati oleh para gembala. Itulah sebabnya pekerjaan mereka bukanlah pekerjaan idaman pada waktu itu.
Namun demikian, merekalah orang-orang pertama yang dipilih Allah untuk mendapatkan warta gembira keselamatan. Rupanya, walaupun para gembala merupakan kelompok masyarakat terpinggirkan, dan mengalami ketakutan yang luar biasa, tetapi, kepada siapakah malaikat Tuhan memberitakan kabar baik? Siapakah yang mendengar nyanyian bala tentara surga yang memuji Allah? Yaitu gembala (ay. 11-14). Mereka yang tersingkirkan dalam masyarakat justru menjadi orang yang pertama mendengar berita baik itu. Atau lebih tepatnya, kepada orang-orang yang tersingkirkan itulah Allah justru memberitakan berita baik, yaitu bahwa Juruselamat telah lahir.
Setelah mendengar berita kesukaan besar untuk seluruh bangsa, bahwa telah lahir Juruselamat di Kota Daud (Luk. 2:10-11), dengan segera, tanpa keraguan, dan dengan penuh totalitas, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Luk. 2:15). Kesigapan serta kesediaan total untuk menanggapi berita keselamatan itu menjadi contoh bagi kita agar kitapun bergegas berjalan bersama menjumpai Yesus.
Setelah berjumpa dengan Yesus, para gembala mengalami pembaruan hidup dan sikap mereka. Mereka berubah menjadi orang yang optimis dan dengan sukacita “memuji dan memuliakan Allah” (Luk 2:20). Rahmat Tuhan dalam perjumpaan itu telah mengubah mereka. Betapa dahsyat kekuatan kasih Tuhan yang memperhatikan dan mendorong mereka untuk melakukan misi baru.
Seperti para gembala itu, kita sebagai satu kawanan umat Allah dipanggil untuk bersama-sama menjumpai Yesus, yang mengampuni, menyembuhkan, menghilangkan ketakutan, peduli pada orang yang dikucilkan, dan terpinggirkan. Perjumpaan yang sejati dan tulus membuat kita menerima kekuatan dari Yesus untuk memberikan kesaksian dalam bentuk “memuji dan memuliakan Allah.” Kemuliaan Allah itu dilaksanakan dalam tindakan-tindakan yang menghadirkan kasih-Nya, di tengah keluarga, komunitas, Gereja, masyarakat dan bangsa. Kasih kepada sesama manusia itu menjadi konkret dalam tindakan saling menghormati, menghargai, menguatkan, dan membangun persahabatan antar manusia tanpa memandang perbedaan golongan, status sosial, jenis kelamin, kekayaan-kemiskinan, dan pilihan politik. Maka, perayaan Natal sungguh mendorong kita untuk berjalan bersama dalam iman, persaudaraan dan belarasa.
Kita harus akui bahwa saat ini kita hidup di dunia yang penuh dengan tragedi kemanusiaan (antara lain: bencana alam yang terjadi di berbagai tempat, peperangan), penuh dengan berbagai peristiwa yang memprihatinkan, menyedihkan, memilukan, dan menakutkan. Berita sukacita itu dibutuhkan oleh dunia pada umumnya, dan setiap orang pada khususnya. Mengapa? Karena hidup kita selalu dibayangi oleh penderitaan, kesedihan, dukacita, kegelisahan, kekuatiran, dan ketakutan. Kisah Natal seperti diceritakan oleh Injil Lukas ini bukan hanya sekadar berita BAIK, melainkan berita TERBAIK bagi dunia, kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hal ini terlihat jelas dari perkataan malaikat kepada para gembala tersebut: “...aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (ay. 10-11). Jadi, segala bentuk ketakutan hilang ketika Sang Juruselamat datang, ketika Tuhan Yesus datang sebagai sahabat bagi kita semua.
Pewartaan kasih Allah yang begitu besar terasa semakin mendesak mengingat sebagian masyarakat kita masih mudah diadu domba oleh berita-berita yang menyesatkan dan hasutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya mudah terjadi konflik, perpecahan, dan tindak kekerasan. Di samping itu, persoalan ketidakadilan, kemiskinan, praktik-praktik perjudian dalam berbagai bentuk, pinjaman (online), dan perusakan lingkungan hidup juga masih marak terjadi. Oleh sebab itu, kita yang merayakan kelahiran Sang Pembawa Damai mesti memiliki keteguhan hati, iman, ikatan persaudaraan, dan kehendak untuk berbelarasa. Dengan dasar keutamaan-keutamaan spiritual itu, kita semakin terlibat dalam menghadirkan kasih Allah demi membangun kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera.
Selain itu, banyak orang dalam hidup ini selalu merasa “kecil” hanya karena tidak mempunyai banyak harta menurut ukuran dunia, hanya karena merasa banyak kelemahan atau kekurangan, hanya karena secara ekonomi dia lemah, hanya karena pendidikannya rendah, hanya karena status sosialnya rendah, atau juga karena sering dianggap “kecil/rendah” oleh masyarakatnya. Namun, berita sukacita yang disampaikan oleh malaikat pada malam ini, menegaskan bahwa kita tidak perlu merasa “kecil” dengan alasan apa pun, kita tidak perlu merasa “rendah,” tidak perlu merasa tak berguna apa pun latar belakangnya. Sekali lagi, kalau Pembela dan Penyelamat kita sudah datang, apa lagi yang kita takuti? Bukankah kita mestinya mengalami dan menikmati kesukaan besar karena Juruselamat telah lahir?
Oleh sebab itu, “Marilah kita pergi ke Betlehem!” Kita tidak perlu takut lagi, sebab berita yang diberitakan kepada kita merupakan kabar kesukaan besar, dan kabar itu juga yang malam ini mulai kita hidupi dan beritakan ke mana-mana demi kemuliaan Tuhan.