Minggu, 27 Oktober 2024

Tuhan Sanggup Melakukan Segala Sesuatu – Lö hadia Sitebai Ifalua Yehowa (Ayub/Yobi 42:1-6)

Bahan khotbah Minggu, 27 Oktober 2024
Disipakan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Maka jawab Ayub kepada TUHAN:
2 “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.
3 Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
4 Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
6 Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”

1. Ba itema li Yehowa Yobi, imane:
2. “Uʼila, wa lõ hadia ia, si tebai ndraʼugõ, awõ wa lõ tõdõu, si tebai õfalua.
3. ‘Ha niha zombalugõ tõdõ [Lowalangi], niha sambõ tõdõ andrõ’? Andrõ uwaʼõ, ba wa lõ tõdõ andrõ, ngawalõ si tebai aboto ba dõdõgu, si lõ uʼila watahõgõ.
4. ’Ba fondrondrongo, alakha yaʼodo zihede; daʼusofu khõu, ba õfahaõ ndraʼo.’
5. Ha turiamõ nirongogu mege, ba iyaʼe, ba no iʼilaʼõ hõrõgu!
6. Andrõ ufuli ligu, ba mangesa dõdõgu, ba gawugawu tou ba ba nawu!”

Dalam kehidupan ini sering kali kita mengalami pergumulan yang berat, pergumulan yang kadang-kadang tidak ada jalan keluarnya. Ada saat-saat di mana kita merasa tidak mengerti mengapa kita harus mengalami masa-masa sulit dan masa-masa berat. Kisah Ayub memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kita dapat memahami kehendak Tuhan di balik setiap penderitaan dan ujian hidup. Di akhir kitab Ayub ini, dalam pasal 42, Ayub mengungkapkan responsnya setelah berhadapan langsung dengan kehadiran Tuhan.

Ayub dan Penderitaan yang Tidak Terjelaskan

Sebagaimana kita ketahui bahwa Ayub adalah seorang laki-laki di tanah Us yang saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan – niha föna ba danö Usi, niha satulö ba sadölö tödö, sangata’ufi Lowalangi ba sifa’udu ba zi lö sökhi (1:1). Dia pun hidup makmur, semuanya ada: isteri dan anak-anak yang baik dan sehat, harta dan kekayaan yang melimpah. Dia terkenal pada waktu itu sebagai orang kaya yang baik, dikenal luas oleh masyarakat. Tetapi kemudian hidupnya mendadak berubah saat ia mengalami kehilangan besar dan penderitaan fisik yang hebat. Ketika dia berada di puncak kejayaannya, tiba-tiba dia mengalami musibah yang luar biasa. Dia kehilangan segala harta bendanya, dan bahkan dia harus kehilangan anak-anak yang dikasihinya. Akhirnya, Ayub pun mengalami penderitaan yang luar biasa; Ayub ditimpa dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya (ibözi Yobi bio, i’otarai narö kahe, numalö ba galizuzu. Ba ihalö duga lawu, ba woga’aga’a ösinia, dumadao ia bawu (2:7-8)

Walaupun pada awalnya Ayub tidak mau menyalahkan TUHAN atas semua yang terjadi kepadanya (Ay. 1:21; 2:10), pada akhirnya Dia pun mempertanyakan mengapa orang benar seperti dirinya bisa mengalami penderitaan seperti itu. Mengapa dia mengalami penderitaan yang amat berat itu, mengapa dia mengalami hal-hal yang tampak tidak adil tanpa alasan. Di dalam pergumulannya, Ayub berdebat dengan teman-temannya, yang mengatakan bahwa penderitaannya disebabkan oleh dosa yang ia lakukan, tetapi Ayub tidak setuju dengan pendapat mereka. Ayub bingung dan mulai mempertanyakan Tuhan, menuntut jawaban atas penderitaannya.

Setelah proses yang cukup panjang, Tuhan pun menjawabnya, tetapi bukan untuk menjelaskan mengapa dia mengalami penderitaan itu; jawaban Tuhan tidak berisi penjelasan langsung atas penderitaan Ayub, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang menantang pemahaman Ayub tentang siapa Tuhan. Tuhan mengingatkan Ayub tentang kebesaran dan kuasa-Nya, yang mengatur seluruh alam semesta, dari bintang di langit hingga makhluk terkecil di bumi. Jawaban Tuhan ini menunjukkan keterbatasan manusia dalam memahami rancangan Allah yang besar dan kompleks. Tuhan menyatakan kepada Ayub betapa kuasa-Nya melebihi pengertian manusia, betapa kuasa-Nya melampaui penderitaan manusia.

Pengalaman Ayub ini menunjukkan bahwa menjadi orang baik, saleh dan jujur, bahkan takut akan Tuhan serta menjauhi kejahatan, tidak menjamin bahwa kita tidak mengalami pencobaan, tidak menjadi jaminan bahwa kita tidak mengalami penderitaan, tidak menjamin bahwa kita tidak mengalami kesakitan, dll. Entah menjadi orang baik dan jujur, ataupun memilih menjadi orang jahat dan penuh tipu muslihat, kalau Tuhan berkehendak, maka sama-sama mengalami pencobaan, sama-sama mengalami kesulitan, sama-sama mengalami penderitaan, sama-sama mengalami sakit-penyakit. Menjadi orang Kristen yang rajin beribadah, yang sungguh-sungguh memberi persembahan dan melayani Tuhan, yang sungguh-sungguh mengikut Yesus, tidak menjamin bahwa hidup kita baik-baik saja. Ada saatnya kita akan mengalami masa-masa sulit, bahkan ketika kita sedang berbuat baik sekalipun.

Menganggapi situasi itu, kita seringkali tidak mengerti mengapa kita mengalami kesulitan itu, seringkali penderitaan yang kita alami tidak bisa dijelaskan. Kita hanya pasrah saja bahwa kita harus rela menanggung semuanya itu. Apa pun yang terjadi dalam hidup ini, baik atau buruk, panas atau dingin, kemarau atau hujan, sehat atau sakit, berkecukupan atau berkekurangan, kita harus akui, seperti Ayub, bahwa “Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Nya yang gagal” (Ay. 42:2). Dengan pernyataan ini, Ayub mengajak kita, untuk mengakui kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Kita harus sadar bahwa ada banyak hal tentang Allah dan kehidupan yang tidak mungkin kita pahami dengan pikiran kita yang terbatas. Dalam kitab Roma 11:33-34, Paulus mengakui kekuasaan Allah yang tidak mampu dipahami oleh pikiran manusia. “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” (Ha lõ abakha wa no aʼoi so manõ khõ Lowalangi ba faʼatuatuania ba fangilania andrõ! Si lõ aboto ba dõdõ niha wanguhukunia, ba si lõ isõndra niha lala andrõ khõnia! Ha niha sa zi no aboto ba dõdõ dõdõ Zoʼaya andrõ? ba ha niha zi no mamolala tõdõnia? Rm. 11:33-34).

Dari pengakuan Ayub akan kemahakuasaan dan rancangan Allah yang tidak mampu dipahami sepenuhnya oleh manusia, akhirnya dia berkata di ayat 5-6: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” – Ha turiamõ nirongogu mege, ba iyaʼe, ba no iʼilaʼõ hõrõgu! Andrõ ufuli ligu, ba mangesa dõdõgu, ba gawugawu tou ba ba nawu!” (Ay. 42:5-6). Artinya, pengalaman penderitaan yang dialaminya telah membawa Ayub lebih dekat kepada Tuhan, dan kini dia merendahkan diri di hadapan Tuhan, karena sadar bahwa dia tidak ada apa-apanya di hadapan Tuhan yang Mahabesar; dia hanyalah debu dan abu, dan tidak mungkin memahami secara penuh Tuhan yang Mahamulia itu. Dulu ia hanya mengetahui Tuhan dari “kata orang,” tetapi sekarang ia mengalami sendiri kedahsyatan Tuhan, mengalami sendiri kekuasaan Tuhan, mengenal Tuhan lebih dalam lagi secara pribadi. Pengalaman ini mengubah pemahaman Ayub; ia tidak lagi menuntut jawaban dari Tuhan akan apa yang terjadi terhadap dirinya, keluarganya, dan harta bendanya; sebaliknya kini dia berserah kepada kehendak Tuhan.

Melalui pengalaman Ayub, kita belajar beberapa hal penting:

1. Mengenal Tuhan di Tengah Penderitaan: Kadang-kadang, di dalam penderitaanlah kita mengalami Tuhan dengan cara yang lebih mendalam. Seperti Ayub, kita sering kali hanya mengenal Tuhan dari apa yang kita dengar dari orang lain. Tetapi dalam pergumulan pribadi, kita bisa mengenal Dia secara lebih langsung dan dalam.

2. Kerendahan Hati dalam Ketidaktahuan: Ayub menyadari keterbatasan dirinya dalam memahami Tuhan. Begitu pula kita harus belajar rendah hati di hadapan Tuhan, mengakui bahwa ada banyak hal yang tidak kita mengerti. Tugas kita bukanlah memahami semua misteri kehidupan, apalagi memahami misteri Tuhan, tetapi mempercayakan diri kepada-Nya.

3. Penyerahan kepada Rencana Tuhan: Ayub menyadari bahwa rencana Tuhan tidak pernah gagal. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, kita yakin bahwa Tuhan sedang bekerja dengan rencana-Nya yang sempurna. Ini memberikan kita penghiburan bahwa apa yang Tuhan izinkan terjadi, pada akhirnya adalah untuk kebaikan kita.

Dalam Ayub 42:1-6, kita melihat bagaimana seorang yang menderita seperti Ayub bisa sampai pada titik penyerahan total kepada Tuhan. Penderitaan telah mengubah Ayub, dan mengubah kita juga, membawa kita pada pengenalan yang lebih dalam akan Allah. Kiranya kita belajar terus untuk mengenal Tuhan lebih dalam melalui setiap pengalaman hidup yang kita alami, baik suka maupun duka. Mari kita serahkan hidup kita kepada Tuhan, percaya bahwa di balik setiap rencana-Nya ada kebaikan yang tidak selalu bisa kita pahami; ada kebaikan yang mungkin saja tidak terlihat saat ini, tetapi percayalah: “Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Nya yang gagal.”
 

Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal (Ayub 42:2).

Uʼila, wa lõ hadia ia, si tebai ndraʼugõ, awõ wa lõ tõdõu, si tebai õfalua (Yobi 42:2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yesus Menaklukkan Roh Jahat (Lukas 8:26-39)

Khotbah Minggu, 22 Juni 2025 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo Hari ini kita diajak Lukas menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat di tanah Ger...