Sabtu, 21 Juni 2025

Yesus Menaklukkan Roh Jahat (Lukas 8:26-39)

Khotbah Minggu, 22 Juni 2025
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

Hari ini kita diajak Lukas menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat di tanah Gerasa. Kita bertemu seorang laki-laki yang hidupnya berada dalam cengkeraman kegelapan yang mengerikan. Namanya tak tercatat, tetapi keadaannya begitu jelas: dirasuki setan-setan. Sudah lama ia tidak berpakaian, tidak tinggal dalam rumah, melainkan berkeliaran di pekuburan. Inilah gambaran nyata dari kehidupan yang sepenuhnya dikuasai oleh kuasa jahat! Setan-setan itu mengendalikan tubuhnya, suaranya, perkataannya, seluruh keberadaannya. Sungguh pemandangan yang memilukan dan menakutkan.

Lihatlah betapa tak berdayanya manusia di hadapan kuasa ini. Ayat 29 menyatakan: untuk menjinakkannya, orang-orang mencoba merantai dan membelenggunya. Tapi sia-sia! Kuasa setan itu begitu kuat sehingga ia memutuskan segala pengikat itu. Ia dihantarkan ke tempat-tempat sunyi oleh roh jahat itu, dan tak seorang pun mampu melawan atau menahannya. Setan itu berusaha merampas kendali atas hidup manusia. Akibatnya, perilaku dan penampilan laki-laki itu pun menyerupai binatang buas. Inilah hakikat roh jahat: ia datang untuk mencuri, membunuh, dan membinasakan (Yohanes 10:10). Ia tak hanya menghancurkan hidup korbannya, tetapi juga meresahkan, mengganggu, dan merusak kehidupan komunitas di sekitarnya. Sungguh mengerikan!

Namun, kita patut bersyukur. Di tengah kegelapan itu, muncul Sang Terang Dunia. Ketika Yesus datang, terjadilah pertemuan yang menentukan. Lihatlah reaksi setan-setan itu! Mereka tersungkur di hadapan Yesus (ay. 28). Mereka diliputi ketakutan yang amat sangat – ata’u zameta’u! Mereka bukan saja tidak melawan, mereka justru memohon-mohon belas kasihan: “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi? Aku memohon kepada-Mu, supaya Engkau jangan menyiksa aku” (ay. 28). Bahkan mereka memohon agar tidak diperintahkan masuk ke dalam jurang maut, tempat penyiksaan mereka (ay. 31). Bayangkan! Mereka disebut “legion” (ay. 30) – sebuah pasukan besar, dalam konteks militer Romawi bisa mencapai 6000 prajurit, dan bisa lebih besar lagi. Sebuah kekuatan yang mengerikan! Tapi di hadapan Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi, kuasa legion itu tidak ada artinya, tak berdaya sama sekali!

Atas perintah Yesus yang penuh kuasa, tanpa perlawanan sedikit pun, setan-setan itu meninggalkan laki-laki malang itu (ay. 29). Mereka memasuki kawanan babi di dekat situ, dan seketika babi-babi itu tergesa-gesa terjun ke danau dan mati lemas (ay. 33). Peristiwa ini bukanlah fokus utamanya, tetapi ia menunjukkan sifat setan yang hakiki: penghancur. Di mana pun ia bercokol, entah pada manusia atau binatang, tujuannya hanya satu: membawa kehancuran dan malapetaka. Kuasa mereka hanya menghasilkan kematian.

Sekarang, lihatlah transformasi yang terjadi! Inilah kuasa Yesus yang membebaskan dan memulihkan! Sang laki-laki yang tadinya liar, telanjang, dan tinggal di kuburan, kini telah mengalami kesembuhan total, bahkan keselamatan (ay. 35-36). Perubahan itu nyata: “ia telah berpakaian dan sudah waras” – “no monukha, no döhö wa’owöhö”. Suaranya tenang, perilakunya terkendali, pikirannya jernih. Kemanusiawiannya yang hilang telah dipulihkan sepenuhnya! Ketika Yesus menyuruhnya pulang dan bersaksi (bukannya ikut dalam rombongan-Nya), ia pun taat. Ia menjadi saksi hidup yang penuh sukacita: “Orang itupun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya” (ay. 39). Sungguh perubahan yang luar biasa! Dari “budak setan” yang ditakuti dan diasingkan, menjadi “saksi Kristus” yang memberitakan pembebasan. Ia adalah bukti nyata bahwa kuasa Yesus jauh melampaui segala kuasa kegelapan.

Lalu, bagaimana tanggapan orang-orang di sekitar? Menarik dan menggelisahkan. Dua kali dikatakan “mereka sangat takut” (ay. 35, 37). Ketakutan mereka begitu besar hingga mereka justru menyuruh Yesus pergi dari daerah mereka (ay. 37). Mengapa? Mungkin karena kerugian ekonomi – babi-babi mereka binasa sebagai “tumbal” pembebasan? Mungkin karena ketidakpercayaan – sulit menerima kenyataan bahwa orang gila itu benar-benar sembuh dan Sang Penyembuh ada di depan mata? Atau mungkin karena prasangka teologis – mengira Yesus menggunakan kuasa Beelzebul, penghulu setan, untuk mengusir setan (bandingkan Markus 3:22)? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, perjumpaan dengan Yesus dan kuasa-Nya yang dahsyat bisa memicu berbagai reaksi: ada yang bersyukur dan bersukacita seperti laki-laki yang disembuhkan, tetapi ada juga yang ketakutan dan menolak seperti penduduk Gerasa.

Pesan dari perikop ini sangat relevan bagi kita hari ini. Roh jahat, setan, atau apa pun sebutannya, dengan segala bentuk dan perwujudannya, tidak pernah berhenti berusaha menguasai hidup manusia. Mereka sangat cerdik! Mereka telah bermetamorfosis! Kadang mereka masih menggunakan cara lama yang kasat mata – merasuki dan merusak secara langsung. Tetapi seringkali, zaman sekarang, mereka muncul dengan “penampilan baru” yang lebih halus, lebih “santun”, bahkan menyamar di tengah kegiatan beragama. Ada yang mengatakan: ini demi BNKP, demi kemuliaan nama Tuhan, tetapi dengan cara-cara yang tidak benar, dengan memanfaatkan dan memuji orang-orang yang kehidupannya sangat jauh dari nilai-nilai kebenaran, bersekongkol dengan orang-orang yang melakukan kejahatan/korupsi, dengan pura-pura tidak tahu kalau jemaat sedang berada dalam kesulitan ekonomi ... dan semua ditutupi dengan amat halus: demi BNKP, demi gereja Tuhan, demi kemuliaan Tuhan. Walaupun tahu salah, tetapi demi BNKP, demi gereja Tuhan, demi kemuliaan Tuhan, tidak apa-apalah. Walaupun tidak etis, tetapi demi BNKP, demi gereja Tuhan, demi kemuliaan Tuhan, tidak masalah. Inilah contoh pekerjaan setan yang seringkali tidak kita sadari, atau mungkin kita pura-pura tidak tahu. Benarkah demi BNKP? Benarkah demi gereja Tuhan? Benarkah demi kemuliaan Tuhan? Jangan-jangan kita sedang mencari kemuliaan diri sendiri dengan bersembunyi di balik urusan gerejawi! Jangan-jangan kita sedang memperjuangkan kesenangan dan kenyamanan kita sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan gereja! 

Mereka menyusup ke segala bidang kehidupan:

  • Melalui keangkuhan dan keserakahan yang menggerogoti jiwa.

  • Melalui kecanduan (narkoba, pornografi, judi, gadget) yang membelenggu pikiran dan kehendak.

  • Melalui kepahitan, dendam, dan kebencian yang meracuni relasi.

  • Melalui materialisme yang menjadikan harta sebagai berhala.

  • Bahkan melalui kehidupan bergereja yang formalistis, di mana orang datang, beribadah, bahkan mungkin “memuji Tuhan” seperti yang dilakukan setan itu sendiri (ay. 28: “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi?”), tetapi hati jauh dari Tuhan, dan hidup tidak berubah.

Daya rusaknya lebih parah dan lebih licik! Mereka seperti virus HIV rohani – menyusup diam-diam, menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita secara perlahan: iman, pengharapan, kasih, integritas, relasi keluarga. Tanpa kita sadari, hidup kita mulai kehilangan damai sejahtera, sukacita, dan kekuatan. Tanpa kita sadari, kita menjadi mudah marah, putus asa, egois, atau dingin secara rohani. Tanpa kita sadari, kita bahkan bisa menjadi alat untuk mengganggu atau merusak kehidupan orang lain. Dan jika dibiarkan, perlahan-lahan kita bisa kehilangan kendali, menjadi tidak berdaya, dan akhirnya mengalami kehancuran rohani. Sungguh mengerikan!

Tapi, dengarlah Kabar Baiknya! Kabar Besar hari ini! Di tengah kengerian dan tipu daya roh jahat yang bermetamorfosis itu, Yesu Kristus, Anak Allah Yang Mahatinggi, tetap berkuasa! Kuasa-Nya untuk menaklukkan roh jahat tidak berkurang sedikit pun! Dia yang mengalahkan “legion” di Gerasa, sanggup dan rindu membebaskan kita dari segala bentuk ikatan dan perusakan roh jahat, baik yang kasar maupun yang halus. Kuasa-Nya adalah kuasa pembebasan dan pemulihan!

Bagaimana kita mengalami kuasa pembebasan dan kemenangan ini? Jawabannya sama seperti laki-laki di Gerasa: Kita harus “berjumpa” dengan Yesus secara pribadi! Perjumpaan yang sejati dengan Sang Juruselamat akan mendatangkan pembebasan dan keselamatan. Bagaimana caranya?

  1. Sadari dan Akui: Mengakui keberadaan kuasa jahat dan pengaruhnya yang mungkin halus dalam hidup kita. Mengakui bahwa kita membutuhkan pertolongan.

  2. Datang pada Yesus dengan Iman: Datanglah kepada-Nya dalam doa, penyembahan, dan penyerahan diri yang tulus. Akui Dia sebagai Tuhan dan satu-satunya yang berkuasa atas hidupmu. Seperti setan-setan itu takluk, kuasa apa pun dalam hidupmu harus takluk pada nama Yesus!

  3. Berseru Meminta Pembebasan: Mintalah dengan iman agar kuasa Yesus membebaskanmu dari segala ikatan, kecanduan, kepahitan, atau pola pikir yang merusak yang menjadi “wujud” roh jahat zaman sekarang dalam hidupmu.

  4. Terima dan Alami Pemulihan: Percayalah bahwa Dia sanggup memulihkan, menyembuhkan, dan mengembalikan “kewarasan” rohanimu – “no monukha, no döhö wa’owöhö”.

  5. Jadilah Saksi: Setelah mengalami pembebasan dan pemulihan, jangan diam! Seperti perintah Yesus kepada laki-laki itu: “Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu” (ay. 39a). Ceritakanlah kebaikan Tuhan! Ceritakanlah kuasa-Nya yang menyelamatkan! Jadilah saksi hidup tentang kuasa Kristus yang menaklukkan roh jahat dan mengubah hidup. Kesaksianmu sangat berharga bagi keluargamu, tetanggamu, dan dunia di sekitarmu.

Mungkin kita tidak dirasuki setan secara fisik seperti laki-laki Gerasa, tetapi kita semua rentan terhadap perusakan roh jahat yang bermetamorfosis di zaman ini. Namun, jangan takut! Hari ini kita diingatkan: Kuasa Yesus lebih besar! Dia sanggup menaklukkan roh jahat mana pun, dalam bentuk apa pun. Dia rindu membebaskan, memulihkan, dan memakai kita menjadi saksi-saksi-Nya.

Mari kita datang pada Yesus sekarang juga! Serahkan hidup kita sepenuhnya kepada-Nya. Mintalah pembebasan dari segala bentuk ikatan dan pengaruh jahat. Alami pemulihan-Nya. Dan kemudian, beranilah menjadi saksi, memberitakan kepada dunia: “Lihatlah apa yang telah diperbuat Yesus bagiku! Dia membebaskanku! Dia menyelamatkanku! Kuasa-Nya lebih besar dari kuasa apa pun!”

Biarlah perjumpaan kita dengan Yesu Kristus hari ini menghasilkan pembebasan, pemulihan, dan kesaksian yang mengubah hidup kita dan memuliakan nama-Nya. Amin.

Sabtu, 05 April 2025

Dosamu telah Diampuni (Lukas 7::41-50)

Bahan khotbah Minggu, 06 April 2025
Disapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
 
41  “Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh.
42   Karena mereka tidak sanggup membayar, maka ia menghapuskan hutang kedua orang itu. Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?”
43   Jawab Simon: “Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya.” Kata Yesus kepadanya: “Betul pendapatmu itu.”
44  Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon: “Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya.
45   Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku.
46   Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi.
47  Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.”
48   Lalu Ia berkata kepada perempuan itu: “Dosamu telah diampuni.”
49  Dan mereka, yang duduk makan bersama Dia, berpikir dalam hati mereka: “Siapakah Ia ini, sehingga Ia dapat mengampuni dosa?”
50 Tetapi Yesus berkata kepada perempuan itu: “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!”

Teks ini sebaiknya dibaca (dipahami) dalam kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, bahkan dalam konteks yang lebih luas (pasal-pasal sebelumnya). Kita akan melihat sejenak keterkaitan teks-teks sebelumnya dengan renungan kita pada hari ini (Luk. 7:40-50).

Pasal 4:14 – 9:50 mengisahkan berbagai pengajaran dan peristiwa dalam pelayanan Yesus di Galilea, serangkaian peristiwa yang menunjukkan bagaimana pendengar atau pembaca injil Lukas ini “percaya” atau sebaliknya “tidak percaya” kepada Yesus. Itulah sebabnya berbagai peristiwa dan pengajaran sepanjang pasal-pasal ini ditempatkan dan dikisahkan sedemikian rupa sehingga terkesan “membandingkan” bahkan “mempertentangkan” satu dengan yang lain (percaya vs. tidak percaya).

  • Ketidakpercayaan atau penolakan di sinagoge di Nazaret (Luk. 4:14-30) diperhadapkan (dikontraskan) dengan iman yang terjadi di sinagoge di Kapernaum (Luk. 4:31-44);
  • Setelah murid-murid pertama Yesus mengikuti Dia dalam iman (Luk. 5:1-11) ketidakpercayaan para pemimpin agama ditampilkan ketika Yesus mengampuni dosa (Luk. 5:12-26);
  • Respons Lewi pemungut cukai untuk percaya kepada Yesus (Luk. 5:27-32) diikuti kemudian dengan ketidakpercayaan dan amarah para Farisi ketika Yesus makan bersama orang-orang berdosa (Luk. 5:33-39);
  • Untuk “menentang” ketidakpercayaan orang-orang Farisi serta hukum sabat (Luk. 6:1-11) Yesus mengutus keduabelas rasul dalam iman (Luk. 6:12-16).

Demikianlah selanjutnya pola penulisan Lukas tentang peristiwa dan pengajaran Yesus hingga nas renungan kita pada hari ini (Luk. 7:40-50). Pada ayat yang berdekatan dengan teks kita hari ini (ay. 36-39), dikisahkan sebuah peristiwa menarik ketika seorang perempuan “pendosa” memberanikan diri (tentu dengan segala risiko) datang ke rumah orang Farisi itu (yang terkenal dengan ketidakmauan mereka bergaul dengan pendosa), dan bahkan perempuan itu mendatangi Yesus, menangis dekat kaki-Nya, membasahi kaki Yesus dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya (tidak lazim menunjukkan rambut di depan umum, tetapi perempuan itu sudah siap dengan segala konsekuensinya), kemudian mencium kaki Yesus dan meminyakinya dengan minyak wangi. Sudah dapat dipastikan bagaimana reaksi orang Farisi (Simon), ada semacam sikap “memvonis” (menghakimi tanpa belas kasihan sekaligus menganggap diri paling benar), serta mempertanyakan/meragukan ke-nabi-an Yesus, itulah yang dikatakan di ayat 39. Tetapi, reaksi Yesus justru sebaliknya, membalikkan “pemahaman dan sikap” umum pada waktu itu. Yesus justru dengan sengaja “melanggar” larangan sosial yang nampaknya sudah dianggap biasa pada saat itu, menjangkau mereka yang disingkirkan dan dipinggirkan oleh masyarakat karena persoalan/perbedaan ras (Luk. 7:1-7), perbedaan kehidupan ekonomi (Luk. 7:11-17), perbedaan agama (Luk. 7:24-35), dan masalah moral (Luk. 7:26-50). Tidak seperti orang Farisi dan orang-orang Yahudi pada umumnya, Yesus justru menyatakan kasih anugerah Allah dalam perjumpaan-Nya dengan orang-orang “pendosa” seperti itu.

Nah, untuk menanggapi reaksi orang Farisi itu, sekaligus menunjukkan betapa sesungguhnya kasih anugerah Allah berlaku bagi semua – termasuk orang-orang “kecil”, maka Yesus “berilustrasi” kepadanya (Simon), yaitu tentang penghapusan hutang (ay. 40-42). Semoga kita masih mengingat bahwa soal utang-piutang merupakan hal yang umum di Yudea pada abad-abad pertama. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk para tuan tanah yang kaya yang menyewakan tanah mereka kepada para petani yang miskin dengan sistem bagi hasil dan kemudian menuntut bagian besar dari keuntungan yang didapat. Sekitar 35-40 % hasil pertanian mereka dihabiskan untuk bea-cukai, pajak, dan perpuluhan di bait Allah, sehingga dapat dibayangkan betapa tekanan hidup yang harus ditanggung oleh para petani. Pada musim kemarau atau masa kelaparan, petani yang miskin dapat dengan mudah kehilangan segala sesuatu yang dia miliki demi orang-orang kaya. Kelaparan besar misalnya pernah terjadi pada tahun 25 SM dan tahun 46 M.

Satu dinar pada waktu itu sama dengan gaji dalam sehari, jadi dua tahun pembayaran utang (500 dinar) vs. dua bulan pembayaran (50 dinar) telah dihapuskan. Karena tidak ada kata khusus Aram untuk mengekspresikan “terima kasih atau rasa syukur”, maka dipakailah ungkapan “Siapa di antara mereka yang terlebih mengasihi dia?” (ay. 42b), yang artinya sama dengan “Siapa di antara mereka yang lebih merasa bersyukur?” Simon (Farisi) menjawab asal-asalan (menduga-duga): “Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya” (ay. 43a); dan Yesus menanggapinya: “Betul pendapatmu itu” (ay. 43b). Ini sebenarnya merupakan “pukulan” “telak” namun “lembut” bagi Simon (kaum Farisi).

Kemudian Yesus menghubungkan ilustrasinya itu dengan apa yang telah dilakukan oleh perempuan “pendosa” tadi (ay. 44-46). Pada akhirnya Yesus menyampaikan misi mulia-Nya, yaitu bahwa perempuan itu telah mendapatkan kasih anugerah Allah yang sangat besar, yakni pengampunan dosa (ay. 47, 48, 50). Yesus menekankan bahwa kasih yang ditunjukkan oleh perempuan itu sangat besar sehingga hasil yang didapatkannya pun sebanding bahkan melebihi kasihnya, yaitu anugerah pengampunan dosa (ay. 47a). Hal ini tentu bukan untuk membenarkan pemahaman tentang pengampunan dosa dapat diperoleh berdasarkan “perbuatan” yang dilakukan oleh manusia. Maknanya justru diperjelas dengan kata-kata Yesus di ay. 47b: “... orang yang sedikit diampuni sedikit juga berbuat kasih.” Artinya, anugerah pengampunan dosa sesungguhnya telah mendahului kasih yang dilakukan manusia, sebab kasih manusia itu (atau apa pun perbuatan baik) merupakan refleksi dari pengampunan yang didapatkan, dirasakan, atau dialami oleh setiap orang. Semakin besar hutang yang dibebaskan semakin besar juga kasih dan rasa syukur yang diungkapkan oleh yang punya hutang; semakin besar dosa yang diampuni semakin besar juga kasih dan rasa syukur yang dinyatakan oleh mereka yang mengalami pengampunan itu. Hal ini juga menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang dapat mengampuni dosa manusia (ay. 49).

Kristus itu penuh dengan belas kasihan dan kuasa. Dia berkenan dan memiliki kuasa untuk mengampuni kita secara utuh dan menyeluruh. Maka:

  • Tuhan hanya meminta kita untuk datang kepada-Nya dalam kerendahan hati, dalam perasaan “tidak layak, tidak berharga” di hadapan-Nya, karena dengan demikian kita dapat merasakan dan atau mengalami kasih karunia dan anugerah pengampunan Tuhan. Sebaliknya, merasa diri benar, menutup hati terhadap orang lain, atau menganggap orang lain lebih berdosa dan tidak perlu dikasihani, sama artinya menutup pintu pengampuan bagi diri sendiri. William Barclay mengatakan: “Satu hal yang menghalangi manusia untuk lebih dekat dengan Allah adalah merasa diri cukup baik, ... dan dosa yang terbesar adalah ketidaksadaran akan dosa”. Maka, dengan sedikit ekstrim dapat dikatakan bahwa tidak ada yang lebih mematikan daripada perasaan bahwa dirinya sendiri adalah benar. Tidak mengaku kesalahan karena merasa diri benar, merasa tindakannya benar, atau sinangea ulau da’ö khönia, selalu mencari alasan untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan atau menganggap rendah orang lain merupakan bentuk kesombongan rohani yang dulunya dimiliki oleh orang-orang Farisi.
  • Kasih dan ungkapan syukur yang kita tunjukkan sesungguhnya merupakan refleksi dari besar-kecilnya kasih karunia, anugerah pengampunan yang telah kita rasakan, telah kita terima, telah kita alami. Artinya, setiap orang yang telah merasakan, menerima dan mengalami kasih Tuhan, pasti mampu menyatakannya dalam kasih dan ungkapan syukur, baik kepada Tuhan sendiri maupun kepada sesama manusia.

Selamat menyiapkan khotbah

Rabu, 25 Desember 2024

Kesukaan Besar untuk Seluruh Bangsa (Lukas 2:8-14)

Bahan Khotbah Natal Umum (Bongi Ni'amoni'õ), Rabu, 25 Desember 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

Tema:
Marilah kita pergi ke Betlehem – Talabu iada’e möi ita ba Mbetilekhema (Lukas 2:15b)

8 Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.
9 Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan.
10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
11 Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.
12 Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”
13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya:
14 “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”
15 Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.


Di kegelapan malam yang dingin-sunyi, tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi para gembala, dan mereka sangat ketakutan. Tetapi, malaikat itu meneguhkan mereka untuk tidak takut sebab: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Mesias, Tuhan di kota Daud” (Luk 2:11). Kabar sukacita ini disampaikan oleh para malaikat kepada para gembala. Begitu mendengar kabar gembira itu, para gembala segera bangkit, meninggalkan ternaknya dan berseru “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem…,” serta bersama berjalan mencari tempat kelahiran Yesus. Mereka pun menemukan bayi Yesus yang terbaring dalam palungan.

Para gembala adalah gambaran orang-orang miskin dan sederhana yang menaruh pengharapan akan keselamatan pada Allah. Mereka sering dipandang sebagai orang pinggiran dan kurang diperhitungkan dalam kehidupan sosial. Mereka tinggal di luar kota dan tidak diperkenankan terlibat dalam banyak kegiatan atau peristiwa penting. Mereka biasa tinggal di tempat-tempat yang jauh dari kota, tinggal di padang rumput bersama dengan kambing domba gembalaannya.

Ketika malam tiba, suasana mereka diliputi kegelapan, kedinginan, dan sunyi-senyap. Sepanjang hari – sepanjang malam, mereka banyak menghabiskan waktu di padang rumput, hampir tidak ada kesempatan untuk menikmati kebebasan di kota. Selain suasana panas di siang hari dan dingin serta sunyi-senyap pada malam hari, mereka juga harus waspada karena sewaktu-waktu ada ancaman, terutama dari binatang buas yang hendak memangsa ternak yang mereka gembalakan. Intinya, hampir tidak ada kenyamanan dan kebebasan yang dapat dinikmati oleh para gembala. Itulah sebabnya pekerjaan mereka bukanlah pekerjaan idaman pada waktu itu.

Namun demikian, merekalah orang-orang pertama yang dipilih Allah untuk mendapatkan warta gembira keselamatan. Rupanya, walaupun para gembala merupakan kelompok masyarakat terpinggirkan, dan mengalami ketakutan yang luar biasa, tetapi, kepada siapakah malaikat Tuhan memberitakan kabar baik? Siapakah yang mendengar nyanyian bala tentara surga yang memuji Allah? Yaitu gembala (ay. 11-14). Mereka yang tersingkirkan dalam masyarakat justru menjadi orang yang pertama mendengar berita baik itu. Atau lebih tepatnya, kepada orang-orang yang tersingkirkan itulah Allah justru memberitakan berita baik, yaitu bahwa Juruselamat telah lahir.

Setelah mendengar berita kesukaan besar untuk seluruh bangsa, bahwa telah lahir Juruselamat di Kota Daud (Luk. 2:10-11), dengan segera, tanpa keraguan, dan dengan penuh totalitas, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Luk. 2:15). Kesigapan serta kesediaan total untuk menanggapi berita keselamatan itu menjadi contoh bagi kita agar kitapun bergegas berjalan bersama menjumpai Yesus.

Setelah berjumpa dengan Yesus, para gembala mengalami pembaruan hidup dan sikap mereka. Mereka berubah menjadi orang yang optimis dan dengan sukacita “memuji dan memuliakan Allah” (Luk 2:20). Rahmat Tuhan dalam perjumpaan itu telah mengubah mereka. Betapa dahsyat kekuatan kasih Tuhan yang memperhatikan dan mendorong mereka untuk melakukan misi baru.

Seperti para gembala itu, kita sebagai satu kawanan umat Allah dipanggil untuk bersama-sama menjumpai Yesus, yang mengampuni, menyembuhkan, menghilangkan ketakutan, peduli pada orang yang dikucilkan, dan terpinggirkan. Perjumpaan yang sejati dan tulus membuat kita menerima kekuatan dari Yesus untuk memberikan kesaksian dalam bentuk “memuji dan memuliakan Allah.” Kemuliaan Allah itu dilaksanakan dalam tindakan-tindakan yang menghadirkan kasih-Nya, di tengah keluarga, komunitas, Gereja, masyarakat dan bangsa. Kasih kepada sesama manusia itu menjadi konkret dalam tindakan saling menghormati, menghargai, menguatkan, dan membangun persahabatan antar manusia tanpa memandang perbedaan golongan, status sosial, jenis kelamin, kekayaan-kemiskinan, dan pilihan politik. Maka, perayaan Natal sungguh mendorong kita untuk berjalan bersama dalam iman, persaudaraan dan belarasa.

Kita harus akui bahwa saat ini kita hidup di dunia yang penuh dengan tragedi kemanusiaan (antara lain: bencana alam yang terjadi di berbagai tempat, peperangan), penuh dengan berbagai peristiwa yang memprihatinkan, menyedihkan, memilukan, dan menakutkan. Berita sukacita itu dibutuhkan oleh dunia pada umumnya, dan setiap orang pada khususnya. Mengapa? Karena hidup kita selalu dibayangi oleh penderitaan, kesedihan, dukacita, kegelisahan, kekuatiran, dan ketakutan. Kisah Natal seperti diceritakan oleh Injil Lukas ini bukan hanya sekadar berita BAIK, melainkan berita TERBAIK bagi dunia, kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hal ini terlihat jelas dari perkataan malaikat kepada para gembala tersebut: “...aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (ay. 10-11). Jadi, segala bentuk ketakutan hilang ketika Sang Juruselamat datang, ketika Tuhan Yesus datang sebagai sahabat bagi kita semua.

Pewartaan kasih Allah yang begitu besar terasa semakin mendesak mengingat sebagian masyarakat kita masih mudah diadu domba oleh berita-berita yang menyesatkan dan hasutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya mudah terjadi konflik, perpecahan, dan tindak kekerasan. Di samping itu, persoalan ketidakadilan, kemiskinan, praktik-praktik perjudian dalam berbagai bentuk, pinjaman (online), dan perusakan lingkungan hidup juga masih marak terjadi. Oleh sebab itu, kita yang merayakan kelahiran Sang Pembawa Damai mesti memiliki keteguhan hati, iman, ikatan persaudaraan, dan kehendak untuk berbelarasa. Dengan dasar keutamaan-keutamaan spiritual itu, kita semakin terlibat dalam menghadirkan kasih Allah demi membangun kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera.

Selain itu, banyak orang dalam hidup ini selalu merasa “kecil” hanya karena tidak mempunyai banyak harta menurut ukuran dunia, hanya karena merasa banyak kelemahan atau kekurangan, hanya karena secara ekonomi dia lemah, hanya karena pendidikannya rendah, hanya karena status sosialnya rendah, atau juga karena sering dianggap “kecil/rendah” oleh masyarakatnya. Namun, berita sukacita yang disampaikan oleh malaikat pada malam ini, menegaskan bahwa kita tidak perlu merasa “kecil” dengan alasan apa pun, kita tidak perlu merasa “rendah,” tidak perlu merasa tak berguna apa pun latar belakangnya. Sekali lagi, kalau Pembela dan Penyelamat kita sudah datang, apa lagi yang kita takuti? Bukankah kita mestinya mengalami dan menikmati kesukaan besar karena Juruselamat telah lahir?

Oleh sebab itu, “Marilah kita pergi ke Betlehem!” Kita tidak perlu takut lagi, sebab berita yang diberitakan kepada kita merupakan kabar kesukaan besar, dan kabar itu juga yang malam ini mulai kita hidupi dan beritakan ke mana-mana demi kemuliaan Tuhan.

Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa (Lukas 2:10)

Minggu, 15 Desember 2024

Engkau Beroleh Kasih Karunia Allah – Noa sa Falukha’ö Wa’ebua Dödö khö Lowalangi (Lukas 1:26-38)

Bahan Khotbah Minggu Advent ke-3, 15 Desember 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1:26 Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret,
1:27 kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.
1:28 Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.”
1:29 Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.
1:30 Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
1:31 Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.
1:32 Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
1:33 dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”
1:34 Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”
1:35 Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.
1:36 Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.
1:37 Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.”
1:38 Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.


Jalinan cerita-cerita tentang kelahiran Yohanes (anak Elisabet dan Zakharia) membuka jalan masuk ke dalam kisah kelahiran Yesus (anak Maria dan Yusuf). Lukas adalah satu-satunya Injil yang menghubungkan kehidupan Yohanes dan Yesus sedemikian dekat, mengidentifikasi Elisabet dan Maria sebagai kerabat (1:36). Elisabet melahirkan Yohanes di usia tuanya, sedangkan Maria melahirkan Yesus pada masa mudanya. Maria mungkin berusia sekitar 14 hingga 16 tahun ketika ia melahirkan Yesus. Ini adalah usia yang sangat umum bagi wanita muda untuk bertunangan dan menikah pada zaman Alkitab. Jadi, putra Allah adalah putra seorang ibu yang masih remaja. Yusuf mungkin lebih tua, sekitar 30 tahun. Yusuf dan Maria adalah pasangan yang sangat biasa di Israel pada waktu itu. Mereka mungkin sangat miskin, tugasnya hanya sebagai tukang kayu. Yusuf dan Maria sebenarnya adalah keturunan bangsawan, keturunan Raja Daud dari Israel, tetapi pada saat itu keluarganya dan negara Israel berada dalam posisi yang sulit, negara miskin pada waktu itu.

Nazaret, kota tempat mereka berdua tinggal, adalah kota perbukitan kecil di Israel. Kota itu juga memiliki pusat bagi para imam kuil, di mana mereka dapat datang dan berdoa dan berpuasa ketika mereka tidak bertugas di bait suci. Jadi, banyak orang akan bepergian dan mengunjungi kota seperti Nazaret. Di bawah hukum Yahudi, pertunangan seperti Yusuf dan Maria diperlakukan hampir seperti pernikahan dan hanya bisa dipatahkan oleh perceraian resmi. Jadi, tidak ada yang salah dengan hubungan (pertunangan) mereka pada waktu itu. Walaupun Maria hamil dan melahirkan Yesus, itu sudah hal yanb dibenarkan dalam tradisi mereka, berbeda dengan konteks kita saat ini, ikatan pertunangan masih bisa putus begitu saja, dan tidak boleh ada hubungan seperti suami istri selama pertunangan itu. Jelas beda, makanya kita jangan melihat hubungan dan ikatan pertunangan Yusuf-Maria dengan kacamata konteks kita saat ini, jelas tidak sinkron.

Di awal teks renungan kita hari ini disebutkan bahwa pada bulan keenam kehamilan Elisabet, malaikat Gabriel dikirim oleh Allah “kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria” (1:26-27). Malaikat Gabriel yang mengunjungi Maria, adalah malaikat pembawa pesan Tuhan dan hanya tampak bagi orang-orang yang sangat penting dalam Alkitab. Maria menerima kata-kata Gabriel dengan terkejut: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau. Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu” (1:28-29). Kepada seorang gadis muda yang bertunangan dengan Yusuf, datanglah kata-kata penghiburan dan janji: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus” (1:30-31). Nama “Yesus” sendiri memiliki arti khusus baginya dan bagi semua orang Israel, karena berasal dari kata Ibrani “Jeshua” yang berarti “penyelamat,” menandakan janji datangnya orang yang menyelamatkan umat Allah. Maria tidak hanya akan mengandung anak dengan cara yang belum pernah terdengar sebelumnya, tetapi anak itu akan memainkan peran khusus dalam keselamatan semua umat Allah. Dengarkan pesan para malaikat: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:11).

Pernyataan tentang siapa dan seperti apa Yesus dalam teks ini menjadi salah satu pesan yang paling agung bahkan dalam seluruh kitab suci: “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan (1:32-33). Di dalam Yesus, penggenapan zaman telah datang. Mesias yang begitu dinanti-nantikan dalam sejarah umat Allah, menyatukan pemerintahan Daud (yang sudah terpecah), dan janji hidup bagi keluarga Yakub / Israel. Karena itu, tidak mengherankan jika Maria bertanya keheranan: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (1:34). Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (1:35).

Maria sangat terkejut dengan Gabriel yang mengatakan bahwa Roh Kudus akan turun atas dirnya, karena dalam cerita-cerita Yahudi kuno, hanya orang-orang yang sangat penting yang dinaungi oleh Roh Kudus. Dia mungkin tidak percaya bahwa hal itu akan terjadi, sebab dia masih sangat muda, secara sosial-ekonomi posisinya tidak patut dibanggakan, dia bukanlah orang penting pada zamannya. Itulah sebabnya Gabriel memberitakan kepadanya bahwa sepupunya Elisabet yang sudah tua itu pun sedang mengandung bayi laki-laki karena pekerjaan dan kuasa Roh Allah (1:36). Lalu, dia pergi menemui sepupunya Elisabet itu, hendak memastikan apakah berita itu benar (Luk. 1:39-40).

Kunci interpretatif untuk memahami dua pasal pertama Injil Lukas hadir dalam pesan malaikat: “Sebab bagi Allah, tidak ada yang mustahil” (1:37). Sebelumnya ada kisah tentang Zakharia-Elisabet-Yohanes (1:5-25), bacaan hari ini adalah kisah tentang Maria (1:26-38), dan seterusnya adalah tentang orang-orang beriman, dimana Allah terus menerus menyatakan keajaiban-Nya. Tema ini berlanjut di sepanjang seluruh kitab Injil Lukas hingga penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus - tidak ada yang mustahil bagi Allah. Tanggapan terakhir Maria dalam teks ini mengungkapkan iman seorang ibu muda kepada Allah: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu. Lalu malaikat itu meninggalkan dia” (1:38).

Jadi, dua pasal pertama dari Injil Lukas termasuk beberapa puisi yang paling indah di dalamnya, menyatakan “kehadiran Allah dalam kehidupan umat-Nya,” kehadiran yang membuat kemustahilan menjadi kemungkinan yang luar biasa, kemungkinan yang tidak mungkin dilakukan dan tidak mungkin dipahami sepenuhnya oleh manusia. Melalui perayaan advent ini, kita diyakinkan bahwa Allah hadir dalam kehidupan umat-Nya, hadir bagi masyarakat biasa, hadir bagi rakyat kecil, hadir bagi siapa pun yang Dia kehendaki, dan kehadiran-Nya itu mengubah kemustahilan menjadi sesuatu yang mendatangkan sukacita bagi umat manusia.

Hari ini kita merayakan advent ke-3, penantian kita semakin dekat akan kedatangan Juruselamat. Perayaan advent bukan sekadar acara dan ibadah formalitas, melainkan persiapan hidup untuk menyambut kedatangan Sang Juruselamat, menyongsong kedatangan sosok yang sebenarnya mustahil terjadi, tetapi bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Persiapan kita tidak juga sekadar mempersiapkan pernak-pernik Natal yang sebentar lagi kita rayakan, yang kadang-kadang memenuhi gedung gereja dan rumah-rumah kita. Melalui perayaan advent ini kita merayakan kehadiran Allah dalam kehidupan umat manusia, perayaan kehadiran Allah di dunia yang semakin heboh dan aneh ini, perayaan kehadiran Allah di tengah-tengah kegalauan kita menghadapi kehidupan yang “turun-naik” ini, perayaan kehadiran Allah bagi orang-orang yang selama ini tidak diperhitungkan dalam masyarakat kita. Jadi, jangan sampai kehilangan sukacita akan kehadiran Allah itu hanya karena berbagai situasi kita saat ini yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita. Allah hadir dan membuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya menjadi mustahil, entah hujan atau panas, entah miskin atau kaya, entah lapar atau kenyang, entah kecil atau besar, dan kehadiran-Nya itu menjadi sumber sukacita bagi kita semua. Jadi, marilah kita merayakan kehadiran Allah dalam minggu-minggu advent ini, kehadiran yang mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan yang ajaib.

Saat ini kita tidak bisa melihat kehadiran Allah secara fisik seperti ketika Yesus lahir lebih 2000 tahun yang lalu. Namun, Allah hadir melalui hikmat-Nya, dan hikmat Allah itulah yang kita rayakan dan yang kita hayati sampai saat ini. Yang kedua, merayakan kehadiran Allah hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh orang-orang yang memiliki hikmat Allah. Sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki hikmat Allah akan mengolok-olok berita kelahiran Yesus Kristus yang tidak lama lagi, bahkan ada yang mengkafir-kafirkan peristiwa kelahiran Kristus yang beberapa minggu ke depan kita rayakan. Jadi, milikilah hikmat Allah supaya mampu merayakan kehadiran Allah dengan penuh sukacita.

Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah (Lukas 1:30)

Sabtu, 23 November 2024

KEKUASAAN DAN KERAJAAN ALLAH TIDAK AKAN LENYAP – FA’ABÖLÖ BA AMATÖRÖWA LOWALANGI SI LÖ TEBULÖ (DANIEL 7:9-14)

Bahan khotbah Minggu Akhir Tahun Gerejani (Peringatan Hidup yang Kekal), 24 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

9 Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar;
10 suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya; seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya. Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab.
11 Aku terus melihatnya, karena perkataan sombong yang diucapkan tanduk itu; aku terus melihatnya, sampai binatang itu dibunuh, tubuhnya dibinasakan dan diserahkan ke dalam api yang membakar.
12 Juga kekuasaan binatang-binatang yang lain dicabut, dan jangka hidup mereka ditentukan sampai pada waktu dan saatnya.
13 Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.
14 Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.

Menurut kalander atau tahun gerejawi, hari ini kita memasuki “Akhir Tahun Gerejawi” yang juga disebut sebagai Minggu “Peringatan akan Hidup yang kekal” (BNKP). Di beberapa gereja, termasuk BNKP, pada hari ini dibacakan jumlah warga jemaat yang lahir dan meninggal selama satu tahun, menunjukkan adanya awal dan akhir kehidupan kita di dunia ini. Dengan kelahiran, kita diingatkan untuk mengisi kehidupan yang akan kita hidupi ke depan dengan baik, dan dengan kematian kita diingatkan untuk menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu ada batasnya, tidak ada yang kekal, maka jangan pernah menyalahartikan dan menyalahgunakan kehidupan di dunia ini.

Dalam penglihatannya sebagaimana diungkapkan oleh teks khotbah hari ini, Daniel pun melihat bahwa kehidupan manusia di dunia ini amatlah terbatas, dan secara khusus Daniel melihat bahwa kekuasaan raja-raja yang paling berkuasa sekalipun tetap akan berakhir, tidak ada yang abadi. Hanya satu yang tidak akan lenyap, kekuasaan dan kerajaan Allah.

Bagi orang Kristen, teks Daniel 7:9-14 sering dihubungkan dengan Yesus. Yesus sendiri mengutip bagian ini dalam Injil Markus dan Matius, menubuatkan bahwa murid-murid-Nya: “akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa” dan “datang dengan awan-awan di langit” (Markus 14:62) dan, dalam Matius, bahwa “semua suku di bumi … akan melihat ‘Anak Manusia datang di atas awan-awan di langit’ dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Matius 24:30).

Daniel 7:9-14 menyoroti pertama-tama tentang pemerintahan Allah, yang digambarkan dalam penglihatan Daniel sebagai “Yang Maha Tua,” dan kedua tentang pemerintahan kekal yang diberikan kepada seseorang seperti manusia. Dengan demikian, pemerintahan dan kedaulatan merupakan tema utama dalam bagian ini. Pemerintahan surgawi — dan kerajaan surgawi — tidak terpisahkan dari pemerintahan duniawi. Kitab Daniel mengutarakan hubungan antara pemerintahan duniawi dan surgawi, dengan menekankan bahwa otoritas kedaulatan raja-raja duniawi bergantung pada kehendak Allah (lih. Daniel 2:21, 5:32).

Kisah-kisah dalam Daniel menggambarkan raja-raja Babel yang memerintahkan penyembahan berhala (pasal 3) dan membayangkan diri mereka berada di tempat Tuhan (pasal 4, 6). Kita belajar di akhir pasal 5 bahwa kesombongan dan kefasikan Raja Belsyazar mendorong Allah untuk mengakhiri kekuasaan Belsyazar (Daniel 5:26-28). Seorang raja baru, Darius dari Media, “menerima kerajaan” segera setelah kematian Belsyazar (5:30). Penglihatan Daniel dalam pasal 7 menyingkapkan bahwa, pada waktunya, kekaisaran lain akan menggantikan kekaisaran Darius, dan orang-orang Yudea akan terus menderita di bawah kekuasaan asing. Demikian seterusnya, kekuasaan dan pemerintahan raja-raja itu silih berganti, tidak ada yang abadi. Daniel 7 muncul selama penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi di Yudea oleh Antiokhus IV Epifanes.

Penglihatan tentang seseorang yang seperti manusia menawarkan harapan bagi orang-orang Yahudi yang telah tunduk pada kekuasaan asing selama lebih dari empat abad dan sekarang menjadi korban teror dan penganiayaan negara. Rumah-rumah mereka dibakar, orang-orang yang mereka kasihi disiksa dan dibantai, dan bait suci mereka dinodai oleh “kekejian yang membinasakan” (Daniel 9:27, 11:31, 12:11). Maka, penglihatan Daniel ini memungkinkan mereka untuk melihat sesuatu yang lain: akhir dari kekuasaan dan kerajaan para raja itu, dan bahwa hanya kekuasaan Allah yang berdaulat, kerajaan-Nya tidak akan lenyap. Raja yang menganiaya mereka digambarkan sebagai binatang buas yang mengerikan dan bermutasi (7:7-8), tetapi pada akhirnya akan binasa (7:11), sama seperti kerajaan-kerajaan sebelumnya (7:12). Sebagai gantinya, Allah akan mendirikan kerajaan yang baru yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah (7:14). Hal ini akan diberikan bukan hanya kepada orang yang seperti manusia, tetapi juga “kepada orang-orang kudus milik Yang Mahatinggi” (7:27). Dengan melakukan hal itu, Allah berusaha untuk membebaskan dan memberdayakan yang tertindas, dan mengesahkan pemerintahan yang adil di bumi seperti di surga.

Daniel mengaku bahwa penglihatan yang ia terima sangat menggelisahkan hingga membuat dia menjadi pucat (ayat 15 dan 28). Sejujurnya, penglihatan ini juga menggelisahkan saya. Banyak hal tidak saya mengerti. Pertaanyaan saya lebih banyak ketimbang apa yang saya dapat jawab dari pertanyaan yang mengemuka dari nas ini. Untuk itu, saya memberi perhatian pada dua hal utama.

Pertama, ada beragam cara Allah menyatakan kehendak-Nya tetapi semuanya bertujuan untuk meneguhkan iman kepada-Nya. “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibrani 1:1-2). Daniel mendapat penglihatan dalam mimpinya. Itu adalah salah satu cara Allah menyatakan diri dan rencana-Nya. Kepada kita, Allah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya. Semuanya sudah dinyatakan Yesus Kristus kepada kita agar kita setia.

Kedua, bersandar pada kekuasaan Allah menghadapi kekuasaan dunia ini. Sudah sejak lama kerajaan dan kekuasaan bangsa-bangsa berlomba-lomba untuk menjadi yang terunggul, bersaing untuk menjadi yang terhebat, berusaha menaklukkan yang lain melalui ideologi, perdagangan bahkan peperangan. Seringkali kekuasaan diselewengkan menjadi penindasan. Orang-orang percaya pun seringkali menjadi korban penganiayaan oleh kekuasaan yang lalim.

Dalam Perjanjian Lama, kekuasaan dipahami pertama-tama sebagai milik Allah. Hanya Allah yang berkuasa atas hidup manusia. Manusia tidak pernah diberi Allah kuasa untuk berkuasa atas sesamanya. Kalaupun manusia berkuasa, kekuasaan itu merupakan kekuasaan yang bersifat partisipatif pada kekuasaan Allah. Bertolak dari Mzm 72, Verkuyl menyimpulkan bahwa kekuasaan dan wibawa raja itu tidak diperoleh dengan sendirinya. Kekuasaan diberikan oleh Allah. Dalam hal ini, sejatinya kekuasaan adalah untuk kebaikan umat. Kuasa harus diberlakukan seturut kehendak Pemberinya.

Sebagai pemberian Allah, kuasa seharusnya tidak disalahgunakan. Tetapi, sepanjang sejarah perjalanan umat manusia penyalahgunaan kekuasaan seringkali terjadi. Yang khas muncul di dalam Perjanjian Lama adalah kritik profetis terhadap kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Para nabi menolak segala bentuk pemujaan berhala yang dibuat oleh kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Mereka juga menolak bentuk pemujaan terhadap penguasa karena melawan Hukum Taurat.

Sehubungan dengan itu, Perjanjian Baru menegaskan bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia adalah raja segala raja di bumi. Kepada-Nyalah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Mat 28). Untuk lebih menjelaskan ini dapat dilihat dalam peristiwa pengadilan Yesus. Ketika Ia berdiri di hadapan Prokurator Romawi, Ia berhadapan dengan wakil kekaisaran Romawi yang bersemboyan “kekuasaan adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah hak (fa’abölö ya fa’abölö, ni’okhögö da’ö).” Pilatus menyangka bahwa ia dapat berbuat sekehendak hatinya dengan kekuasaannya. Baginya yang terpenting ialah Res Publica Imperium Romanum (kepentingan umum kekaisaran Romawi). Di sini Yesus mengingatkan sumber sejati kekuasaan, yaitu Allah sendiri. Yesus menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh 19:11a).

Firman Tuhan yang menunjukkan perbedaan praktik kekuasaan dalam lingkup politis (pada masa Yesus) dan dalam lingkup komunitas kristiani perdana adalah sabda Yesus, sebagai jawaban terhadap para murid yang menginginkan tempat yang terhormat dalam Kerajaan Sorga kelak, “Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (katakyrieusin auton) dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka (katexousiazousin). Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Mrk 10:42-44; Mat 20:25-27; Luk 22:25-26). Jadi, kuasa berarti melayani sedangkan penguasa berarti hamba. Kekuasaan macam itu akan menghantar orang pada kesejahteraan.

Salah satu penekanan Daniel 7 ini adalah agar orang percaya tidak tawar hati dalam menghadapi kekuasaan bahkan yang tampak sangat mengerikan sekali pun. Ayat 14 menunjuk pada Kristus yang berkuasa sebagai Raja, bukan raja perang atau politis, tetapi Raja Damai yang kekuasaannya kekal, berbeda dengan kekuasaan bangsa-bangsa yang akan berakhir.

Kita masih berada di bawah kekuasaan dunia, yang terkadang menakutkan. Tetapi jangan lupa, kita juga adalah warga Kerajaan Surga, Raja kita memiliki kuasa melampaui kuasa apa pun, kekuasaan-Nya kekal dan selalu berisi damai sejahtera. Itulah menguatkan kita.

· Kehidupan kita di dunia ini tidaklah kekal, hanya satu yang kekal yaitu kekuasaan Allah.
· Karena itu, böi tahalö esuanöda khö nawöda. Hidup ini ibarat roda, naik turun, bahkan kecantikan/ketampanan sekarang pun pada akhirnya tidak berarti apa-apa, kita ini menuju tua, akore ba gafuariata, jadi tidak perlu sombong atau angkuh.
· Ketika mati, biasanya kita menginginkan orang-orang berkata: “wah, mengapa dia cepat meninggal,” daripada nanti orang berkata: “syukurlah, dia sudah mati.”
· Apa pun dan bagaimana pun kekuasaan dunia ini, tidak ada yang abadi. Tetapi, kekuasaan dan kerajaan Allah tidak akan lenyap.


“Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Daniel 7:14b)

Sabtu, 16 November 2024

KUATKAN DAN TEGUHKANLAH HATIMU – YA’ABÖLÖ NDRA’UGÖ, YA’ABE’E DÖDÖU (YOSUA 1:6-9)

Bahan Penelaahan Alkitab (PA), Minggu ke-3 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

6 Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka.
7 Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi.
8 Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.
9 Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi.

Keteguhan Hati Menghadapi Masa-masa Sulit dan Orang-orang Sulit
Suksesi kepemimpinan di Israel terjadi sepeninggal Musa. Yosua menerima mandat untuk melanjutkan kepemimpinan. Namun, tampaknya Yosua “kecut dan tawar hati” menerima mandat itu, hal ini terlihat jelas pada kata-kata TUHAN di ayat 9b “Janganlah kecut dan tawar hati …” Yosua ragu-ragu, bimbang, dan tidak percaya diri memimpin bangsa itu, sehingga TUHAN perlu menguatkan dan meneguhkan hatinya. Mengapa Yosua kecut dan tawar hati? Mengapa dia ragu, bimbang, dan tidak percaya diri memimpin bangsa Israel? Bukankah seharusnya dia bangga karena diberi mandat menjadi pemimpin (seperti sekarang ini orang-orang lagi berburu kekuasaan)?

Yosua sadar bahwa bangsa yang akan dia pimpin adalah bangsa besar, umat pilihan TUHAN, sehingga tanggung jawabnya amat besar dan berat. Yosua juga tahu bagaimana watak bangsa Israel; mereka adalah bangsa yang keras kepala, susah diatur, sulit dipimpin, walaupun mereka umat pilihan TUHAN. Musa yang sudah senior dan berpengalaman saja seringkali kelabakan memimpin mereka, apalagi Yosua yang baru diangkat menjadi pemimpin, wah … berat. Yosua juga tahu betul bahwa dia akan memimpin bangsa itu memasuki tanah perjanjian, tanah Kanaan, yang sebenarnya masih ada penduduknya, dan orang-orangnya tidak mudah ditaklukkan.

Jadi, memimpin bangsa Israel menuju tanah Kanaan merupakan tugas yang amat berat, dan Yosua menyadari bahwa dirinya belumlah siap untuk itu, sehingga dia pun kecut dan tawar hati. Namun, TUHAN tahu pergumulan Yosua, sehingga Dia meyakinkan dan memberi jaminan kepada Yosua bahwa dia akan berhasil karena TUHAN sendiri yang menyertai kepemimpinannya dan perjalanan bangsa itu menuju tanah Kanaan. Maka, dalam teks ini, TUHAN menyampaikan kata-kata “kuatkan dan teguhkanlah hatimu” sebanyak tiga kali (ay. 6, 7, 9).

Kunci Kekuatan dan Keteguhan Hati: Penyertaan Tuhan
Pada ayat 5 dikatakan: “… seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai Engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau”. Dipertegas lagi pada ayat 9, “…sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau ke mana pun engkau pergi.” Berdasarkan jaminan Tuhan inilah kita memahami apa yang dikatakan dalam ayat 6: “kuatkan dan teguhkanlah hatimu.” Yosua dapat menjadi kuat dan teguh “karena” penyertaan Tuhan, karena Tuhan tidak akan meninggalkan Yosua dan umat-Nya. Dengan kata-kata ini Yosua diharapkan untuk tidak lagi kecut dan tawar hati seperti disebutkan di ayat 9, untuk tidak lagi ragu, tidak bimbang, dan tidak percaya diri. Kuatkan dan teguhkanlah hatimu menjalani kehidupan, melaksanakan tugas dan tanggung jawabmu, sebab TUHAN pasti menyertai.

Kata-kata “kuatkan dan teguhkanlah hatimu” disebutkan sampai tiga kali (ayat 6, 7 dan 9). Pengulangan ini kita maknai sebagai sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Hati yang kuat dan teguh sangat dibutuhkan, sebab tugas Yosua tidak mudah. Perjalanan penuh tantangan. Umat yang dipimpin pun terkadang gampang bersungut-sungut bahkan dikenal tegar tengkuk. Di tengah mereka ada orang-orang sulit. Tanpa kekuatan dan keteguhan hati, seorang pemimpin dalam situasi seperti itu, akan mudah menjadi frustrasi atau putus asa.

Dalam kaitan dengan hati yang kuat dan teguh itu ada tiga hal penting yang perlu dihidupi oleh Yosua:
(1) Memperkatakan dan merenungkan kitab Taurat (ayat 8). Kitab Taurat adalah pemberian Allah. Dan segala pemberian Allah pastilah yang baik. Allah menghendaki manusia hidup dalam keteraturan, hidup dalam harmoni dengan Allah, sesama manusia dan alam ciptaan Tuhan. Segala keputusan yang dia ambil, harus berdasar pada Taurat Tuhan.

(2) Bertindak hati-hati (disebutkan dua kali, ayat 7 dan 8). Hati yang kuat dan teguh pasti hati-hati, tidak ceroboh dan bertindak bodoh. Ciri hati yang terus terpaut dengan Tuhan adalah hati-hati, terutama dalam pengambilan keputusan yang selalu membawa kebaikan bagi umat Tuhan, bukan keputusan yang diambil dalam keputusasaan.

Apabila Yosua melakukan kedua hal di atas, dan oleh karena penyertaan TUHAN tentunya, maka perjalanannya akan berhasil dan beruntung (juga disebut dua kali, ayat 7 dan 8). Hasil yang baik adalah perpaduan penyertaan Tuhan dan sambutan manusia dengan menjalani hidup seturut kehendak-Nya. Hidup kita ini memang anugerah Tuhan, kita percaya bahwa Dia pasti menyertai, tetapi harus juga ada respons yang baik dari kita untuk menyambut anugerah Allah itu.

Tuhan, Yosua dan Kita
Hidup kita masih dalam perjalanan. Dalam perjalanan itu kita bisa saja menghadapi berbagai tantangan, bukan saja dari luar, tetapi juga dari teman seperjalanan. Tetapi syukur kepada Tuhan, penyertaan-Nya tidak pernah berakhir. Begitu pentingnya penyertaan Tuhan itu, sehingga Yesus pun menegaskan sebagaimana dalam Matius 28:20 “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Ba hiza, fao khömi ndraʼo, ero maʼökhö, irugi gamozua götö danö andrö). Tuhan yang menyatakan penyertaan-Nya kepada Yosua dan umat Israel, dan Tuhan yang menjamin penyertaan-Nya kepada murid-murid-Nya dahulu kala adalah Tuhan yang sama yang tetap menyertai perjalanan hidup kita sekarang ini.

Kesadaran dan iman seperti ini amat menentukan suasana hati dan gerak hidup kita hari-hari ini dalam berbagai tantangan kehidupan yang kita hadapi. Dunia ini, dengan segala hiruk pikuknya, bisa memberi 1000 alasan kepada kita untuk kecut hati bahkan meratap, tetapi ada 1 alasan kita untuk tetap teguh dan sukacita, dan satu alasan ini lebih kuat dari 1000 alasan dunia ini, yaitu: “penyertaan Tuhan.” Dalam penyertaan Tuhan inilah kita jalani hidup sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya berhadapan dengan tantangan perjalanan hidup dan berjalan bersama dengan orang-orang yang Tuhan tempatkan bersama-sama dengan kita.

Hati yang kuat dan teguh mampu menghadapi berbagai tantangan zaman karena mengandalkan penyertaan Tuhan. Orang yang seperti itu antara lain:
· Tidak dikendalikan situasi, tetapi mengendalikan situasi;
· Tidak dikendalikan gadget, tetapi mengendalikan gadget;
· Tidak “digarami” dunia, tetapi menggarami dunia;
· Peka melihat tanda-tanda kerajaan Allah dalam situasi sepahit apa pun, seperti: masih banyaknya orang yang berpikir jernih dan berjuang untuk kebaikan, adanya kesempatan untuk melakukan berbagai kebaikan, tersedianya penopang kehidupan dan sebagainya.


Tuhan menyertai kita semua. Amin.

Minggu, 10 November 2024

Memberi dari Kekurangan – Tabe’e Moroi ba Wo’amböta (1 Raja-Raja 17:7-16)

Bahan Khotbah Minggu, 10 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu.
8 Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia:
9 “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”
10 Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum.”
11 Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: “Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti.”
12 Perempuan itu menjawab: “Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.”
13 Tetapi Elia berkata kepadanya: “Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu.
14 Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.”
15 Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.
16 Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.


Bagian sebelum 1 Raja-raja 17:7-16 memberikan konteks penting untuk pertemuan antara seorang wanita, yang kebetulan adalah seorang janda, dan seorang pria, yang kebetulan adalah seorang nabi. Dalam 1Raj. 17:1 Elia mengumumkan bahwa tidak akan ada embun atau hujan di negeri itu kecuali ia mewujudkannya dengan kuasa Tuhan. Allah memerintahkan Elia untuk berkemah di tepi sungai Kerit (ayat 3), dan sesudah beberapa waktu air di sungai itu pun akhirnya menguap dalam kekeringan sebab hujan tiada turun di negeri itu (ayat 7). Sungai Kerit ini merupakan sungai kering di padang pasir, disebut Wadi, yang hanya berisi air jika hujan turun.

Elia adalah sosok yang terisolasi, jauh dari keramaian, dan sepertinya dia suka menyendiri (introvert), dapat telihat di sepanjang hidupnya. Ketika kita membaca pertama kali tentang Elia, ia sedang sendirian di tepi Kerit, dengan burung gagak yang memberinya makan. Kontak manusia pertama yang ia lakukan dalam cerita tersebut hanya terjadi setelah Tuhan memerintahkannya untuk mendekati orang lain, seorang wanita (janda) di Sarfat, termasuk wilayah Sidon (bagian paling utara Kanaan). Tuhan memerintahkan Elia untuk “bersiap dan pergi” menemui wanita ini untuk mendapatkan bekal/makanan.

Pada ayat 9 TUHAN berkata kepada Elia: “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” Ingat, seorang “janda” yang status sosialnya rendah di masyarakat, diberi tugas (diperintahkan) oleh TUHAN Allah untuk memberi makan seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang secara ekonomi sangat miskin, ternyata diberi tugas oleh TUHAN Allah untuk menghidupi seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang selama ini tidak dianggap dalam masyarakat, atau dianggap rendah dalam masyarakat, ternyata TUHAN mengangkat derajatnya menjadi orang yang menafkahi seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang selama ini HIDUP DALAM KEKURANGAN, seorang “janda” yang sedang menuju kematian (karena ketiadaan kebutuhan), ternyata dimampukan oleh TUHAN untuk memberi makan seorang laki-laki, nabi Elia; janda ini memberi dari kekurangan yang dimilikinya.

Pada ayat 12, kita mengetahui bahwa perempuan ini bukan hanya seorang janda, melainkan ia juga seorang ibu; dia memiliki seorang anak, yang juga sedang hidup dalam kekurangan, dan seperti pengakuannya kepada Elia, bahwa “setelah kami memakannya, maka kami akan mati.” Elia kemungkinan besar pada awalnya tidak tahu situasi janda dan anaknya ini, yang dia tahu bahwa Allah memerintahkannya untuk mencarinya. Ketika Elia meminta sedikit makanan kepadanya, ia mengungkapkan keputusasaannya akan kekurangan yang dialami keluarganya. Ia sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu untuk menyalakan api dan mengolah sisa bahan makanan terakhir yang mereka miliki. Elia bertemu dengannya ketika ia sedang mempersiapkan makan terakhir bagi keluarganya (di ayat 12 sang janda itu mengatakan: “setelah kami memakannya, maka kami akan mati”).

Ketika membaca dan merenungkan teks ini, kita mungkin menganggap Elia tidak peka terhadap kekurangan sang janda itu. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak takut, lalu ia kemudian memerintahkannya untuk membuatnya sepotong roti bundar kecil, barulah kemudian janda itu membuat “makanan” (roti kecil) untuk dirinya dan untuk anaknya (ay. 13). Kalau kita pikir-pikir pada zaman sekarang, kita bisa saja menegur Elia karena mendahulukan kebutuhannya sendiri di atas kebutuhan janda itu dan anaknya. Bagaimana mungkin seorang nabi laki-laki, nabi Elia, sampai hati “memaksa” janda yang berkekurangan dan sedang putus asa (karena kehabisan bahan makanan) untuk mendahulukan kebutuhannya di atas kebutuhan janda itu dan anaknya? Sungguh keterlaluan!

Tetapi, apabila kita membaca ayat-ayat sebelumnya, terutama dari pasal 17:1, kita akan mengetahui bahwa Elia, atas perkenan TUHAN Allah, telah mengklaim kekuasaan atas hujan, yang sekaligus menjadi jaminan bahwa TUHAN Allah pasti menyediakan kebutuhan sang janda itu dan anaknya. Jaminan ini semakin terlihat di ayat 14: “Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.” Ini merupakan nubuat tentang tentang berkat dan pemeliharaan Allah kepada umat-Nya. Allah memerintahkan Elia untuk mencari janda itu agar dapat menyediakan kebutuhan nabi, dan dengan melakukan hal itu, nabi Elia, oleh kuasa TUHAN, juga menyediakan kebutuhan janda itu. Dalam ayat 15 dan 16, kita melihat bahwa janda itu mendengarkan perkataannya, dan nubuat tentang pemeliharaannya juga terpenuhi. “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia” (ay. 16). Kebutuhannya terpenuhi dan tidak pernah habis selama musim kemarau yang panjang.

Kisah ini memperlihatkan prinsip utama bahwa kondisi kekeringan (tidak ada embun atau hujan selama beberapa tahun) adalah akibat dari KETIDAKTAATAN Raja Ahab dari Israel. Dalam Ulangan 11:13–14, Allah berfirman bahwa: “Jika kamu (para pemimpin dan umat Israel) dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, maka Ia akan memberikan hujan untuk tanahmu pada masanya, hujan awal dan hujan akhir, sehingga engkau dapat mengumpulkan gandummu, anggurmu dan minyakmu.” Sebaliknya, jika mereka beribadah dan taat kepada ilah-ilah lain, maka: “... akan bangkitlah murka TUHAN terhadap kamu dan Ia akan menutup langit, sehingga tidak ada hujan dan tanah tidak mengeluarkan hasil, lalu kamu lenyap dengan cepat dari negeri yang baik yang diberikan TUHAN kepadamu” (Ulangan 11:17).

Ellen Davis, seorang teolog/profesor bidang Teologi Biblika dan Praktika dari Sekolah Tinggi Teologi Duke, di Durham Inggris, meringkas asas teologis tentang hukum pahala (reward)dan pembalasan (punishment) ini: “Secara keseluruhan, dari sudut pandang Alkitab, kesuburan dan keberlangsungan hidup bumi, atau khususnya tanah Israel, adalah indikator terbaik kesehatan atau kebaikan hubungan perjanjian antara pemimpin dan umat Israel dengan TUHAN.” Secara umum, seorang pemimpin dan umat yang taat dan setia kepada TUHAN, akan memberi jaminan tentang keberlanjutan kesuburan tanah serta kemakmuran penduduknya.

Dalam 1 Raja-Raja 16:31–33 sudah mengisyaratkan bahwa raja Ahab jauh dari kata setia, menyembah Baal dan membangun kuil Baal di Samaria. Namun, kisah tentang janda dan anaknya ini menggambarkan bagaimana hukuman akibat perbuatan raja itu berdampak pada orang-orang yang paling rentan di masyarakat. Ulah para pemimpin atau pejabat yang tidak taat kepada TUHAN, yang tidak peduli dengan ketentuan TUHAN dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka, akan berdampak kepada seluruh masyarakat, termasuk orang-orang yang paling rentan (janda, anak yatim-piatu, dan orang-orang asing/perantau). Kisah ini menggambarkan bagaimana konsekuensi dari kepemimpinan yang tidak setia atau kepemimpinan yang buruk seringkali menyebabkan kerugian terbesar bagi orang-orang yang paling rentan di masyarakat.

Dari kisah pertemuan nabi Elia dengan janda ini, kita dapat merenungkan bagaimana masyarakat kita seringkali merendahkan kaum yang rentan hanya dengan status atau label tertentu. Oleh sebab itu, gereja harusnya menjangkau kaum yang rentan, orang-orang yang mungkin memiliki kekurangan secara fisik dan mental, kaum yang dianggap rendah dalam masyarakat, kaum yang miskin, dan kaum yang berkekurangan; gereja dan kita semua harus memandang dan memperlakukan mereka sebagai manusia, dan seharusnya gereja memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan mereka.

Hari Minggu yang lalu, kita sudah diingatkan akan perintah untuk mengasihi Tuhan Allah segenap hidup kita, dan pada saat yang sama mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Markus 12:29-31). Bagaimana merealisasikan hal itu? Yaitu mengasihi Allah yang menuntut kesegenapan hidup kita, harus hadir sepenuhnya lewat kasih pada sesama kita. Sang janda yang miskin dan berkekurangan tadi sudah menunjukkan kepada kita bagaimana mengasihi TUHAN Allah dalam wujud kasih kepada sesama (nabi Elia). Kasih sang janda yang berkekurangan ini datang dalam bentuk makanan, yaitu makanan sehari-hari. Itu adalah makanan terakhir yang masih tersisa baginya dan anaknya. Kita juga bisa melakukannya dalam kehidupan kita sehari-hari, mengasihi TUHAN Allah segenap hidup kita dalam wujud menolong sesama kita yang membutuhkan, sekalipun kita juga mungkin sedang berkekurangan. Seperti tema khotbah Minggu ini: “Memberi dari Kekurangan – Tabe’e Moroi ba Wo’amböta.” Jangan tunggu sampai berkelimpahan dulu baru memberi, tunjukkanlah bahwa kita pun bisa memberi dari kekurangan yang kita miliki.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan (Amsal 11:24).

Yesus Menaklukkan Roh Jahat (Lukas 8:26-39)

Khotbah Minggu, 22 Juni 2025 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo Hari ini kita diajak Lukas menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat di tanah Ger...