Bahan khotbah Minggu Akhir Tahun Gerejani (Peringatan Hidup yang Kekal), 24 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
10 suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya; seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya. Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab.
11 Aku terus melihatnya, karena perkataan sombong yang diucapkan tanduk itu; aku terus melihatnya, sampai binatang itu dibunuh, tubuhnya dibinasakan dan diserahkan ke dalam api yang membakar.
12 Juga kekuasaan binatang-binatang yang lain dicabut, dan jangka hidup mereka ditentukan sampai pada waktu dan saatnya.
13 Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.
14 Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.
Menurut kalander atau tahun gerejawi, hari ini kita memasuki “Akhir Tahun Gerejawi” yang juga disebut sebagai Minggu “Peringatan akan Hidup yang kekal” (BNKP). Di beberapa gereja, termasuk BNKP, pada hari ini dibacakan jumlah warga jemaat yang lahir dan meninggal selama satu tahun, menunjukkan adanya awal dan akhir kehidupan kita di dunia ini. Dengan kelahiran, kita diingatkan untuk mengisi kehidupan yang akan kita hidupi ke depan dengan baik, dan dengan kematian kita diingatkan untuk menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu ada batasnya, tidak ada yang kekal, maka jangan pernah menyalahartikan dan menyalahgunakan kehidupan di dunia ini.
Dalam penglihatannya sebagaimana diungkapkan oleh teks khotbah hari ini, Daniel pun melihat bahwa kehidupan manusia di dunia ini amatlah terbatas, dan secara khusus Daniel melihat bahwa kekuasaan raja-raja yang paling berkuasa sekalipun tetap akan berakhir, tidak ada yang abadi. Hanya satu yang tidak akan lenyap, kekuasaan dan kerajaan Allah.
Bagi orang Kristen, teks Daniel 7:9-14 sering dihubungkan dengan Yesus. Yesus sendiri mengutip bagian ini dalam Injil Markus dan Matius, menubuatkan bahwa murid-murid-Nya: “akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa” dan “datang dengan awan-awan di langit” (Markus 14:62) dan, dalam Matius, bahwa “semua suku di bumi … akan melihat ‘Anak Manusia datang di atas awan-awan di langit’ dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Matius 24:30).
Daniel 7:9-14 menyoroti pertama-tama tentang pemerintahan Allah, yang digambarkan dalam penglihatan Daniel sebagai “Yang Maha Tua,” dan kedua tentang pemerintahan kekal yang diberikan kepada seseorang seperti manusia. Dengan demikian, pemerintahan dan kedaulatan merupakan tema utama dalam bagian ini. Pemerintahan surgawi — dan kerajaan surgawi — tidak terpisahkan dari pemerintahan duniawi. Kitab Daniel mengutarakan hubungan antara pemerintahan duniawi dan surgawi, dengan menekankan bahwa otoritas kedaulatan raja-raja duniawi bergantung pada kehendak Allah (lih. Daniel 2:21, 5:32).
Kisah-kisah dalam Daniel menggambarkan raja-raja Babel yang memerintahkan penyembahan berhala (pasal 3) dan membayangkan diri mereka berada di tempat Tuhan (pasal 4, 6). Kita belajar di akhir pasal 5 bahwa kesombongan dan kefasikan Raja Belsyazar mendorong Allah untuk mengakhiri kekuasaan Belsyazar (Daniel 5:26-28). Seorang raja baru, Darius dari Media, “menerima kerajaan” segera setelah kematian Belsyazar (5:30). Penglihatan Daniel dalam pasal 7 menyingkapkan bahwa, pada waktunya, kekaisaran lain akan menggantikan kekaisaran Darius, dan orang-orang Yudea akan terus menderita di bawah kekuasaan asing. Demikian seterusnya, kekuasaan dan pemerintahan raja-raja itu silih berganti, tidak ada yang abadi. Daniel 7 muncul selama penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi di Yudea oleh Antiokhus IV Epifanes.
Penglihatan tentang seseorang yang seperti manusia menawarkan harapan bagi orang-orang Yahudi yang telah tunduk pada kekuasaan asing selama lebih dari empat abad dan sekarang menjadi korban teror dan penganiayaan negara. Rumah-rumah mereka dibakar, orang-orang yang mereka kasihi disiksa dan dibantai, dan bait suci mereka dinodai oleh “kekejian yang membinasakan” (Daniel 9:27, 11:31, 12:11). Maka, penglihatan Daniel ini memungkinkan mereka untuk melihat sesuatu yang lain: akhir dari kekuasaan dan kerajaan para raja itu, dan bahwa hanya kekuasaan Allah yang berdaulat, kerajaan-Nya tidak akan lenyap. Raja yang menganiaya mereka digambarkan sebagai binatang buas yang mengerikan dan bermutasi (7:7-8), tetapi pada akhirnya akan binasa (7:11), sama seperti kerajaan-kerajaan sebelumnya (7:12). Sebagai gantinya, Allah akan mendirikan kerajaan yang baru yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah (7:14). Hal ini akan diberikan bukan hanya kepada orang yang seperti manusia, tetapi juga “kepada orang-orang kudus milik Yang Mahatinggi” (7:27). Dengan melakukan hal itu, Allah berusaha untuk membebaskan dan memberdayakan yang tertindas, dan mengesahkan pemerintahan yang adil di bumi seperti di surga.
Daniel mengaku bahwa penglihatan yang ia terima sangat menggelisahkan hingga membuat dia menjadi pucat (ayat 15 dan 28). Sejujurnya, penglihatan ini juga menggelisahkan saya. Banyak hal tidak saya mengerti. Pertaanyaan saya lebih banyak ketimbang apa yang saya dapat jawab dari pertanyaan yang mengemuka dari nas ini. Untuk itu, saya memberi perhatian pada dua hal utama.
Pertama, ada beragam cara Allah menyatakan kehendak-Nya tetapi semuanya bertujuan untuk meneguhkan iman kepada-Nya. “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibrani 1:1-2). Daniel mendapat penglihatan dalam mimpinya. Itu adalah salah satu cara Allah menyatakan diri dan rencana-Nya. Kepada kita, Allah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya. Semuanya sudah dinyatakan Yesus Kristus kepada kita agar kita setia.
Kedua, bersandar pada kekuasaan Allah menghadapi kekuasaan dunia ini. Sudah sejak lama kerajaan dan kekuasaan bangsa-bangsa berlomba-lomba untuk menjadi yang terunggul, bersaing untuk menjadi yang terhebat, berusaha menaklukkan yang lain melalui ideologi, perdagangan bahkan peperangan. Seringkali kekuasaan diselewengkan menjadi penindasan. Orang-orang percaya pun seringkali menjadi korban penganiayaan oleh kekuasaan yang lalim.
Dalam Perjanjian Lama, kekuasaan dipahami pertama-tama sebagai milik Allah. Hanya Allah yang berkuasa atas hidup manusia. Manusia tidak pernah diberi Allah kuasa untuk berkuasa atas sesamanya. Kalaupun manusia berkuasa, kekuasaan itu merupakan kekuasaan yang bersifat partisipatif pada kekuasaan Allah. Bertolak dari Mzm 72, Verkuyl menyimpulkan bahwa kekuasaan dan wibawa raja itu tidak diperoleh dengan sendirinya. Kekuasaan diberikan oleh Allah. Dalam hal ini, sejatinya kekuasaan adalah untuk kebaikan umat. Kuasa harus diberlakukan seturut kehendak Pemberinya.
Sebagai pemberian Allah, kuasa seharusnya tidak disalahgunakan. Tetapi, sepanjang sejarah perjalanan umat manusia penyalahgunaan kekuasaan seringkali terjadi. Yang khas muncul di dalam Perjanjian Lama adalah kritik profetis terhadap kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Para nabi menolak segala bentuk pemujaan berhala yang dibuat oleh kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Mereka juga menolak bentuk pemujaan terhadap penguasa karena melawan Hukum Taurat.
Sehubungan dengan itu, Perjanjian Baru menegaskan bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia adalah raja segala raja di bumi. Kepada-Nyalah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Mat 28). Untuk lebih menjelaskan ini dapat dilihat dalam peristiwa pengadilan Yesus. Ketika Ia berdiri di hadapan Prokurator Romawi, Ia berhadapan dengan wakil kekaisaran Romawi yang bersemboyan “kekuasaan adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah hak (fa’abölö ya fa’abölö, ni’okhögö da’ö).” Pilatus menyangka bahwa ia dapat berbuat sekehendak hatinya dengan kekuasaannya. Baginya yang terpenting ialah Res Publica Imperium Romanum (kepentingan umum kekaisaran Romawi). Di sini Yesus mengingatkan sumber sejati kekuasaan, yaitu Allah sendiri. Yesus menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh 19:11a).
Firman Tuhan yang menunjukkan perbedaan praktik kekuasaan dalam lingkup politis (pada masa Yesus) dan dalam lingkup komunitas kristiani perdana adalah sabda Yesus, sebagai jawaban terhadap para murid yang menginginkan tempat yang terhormat dalam Kerajaan Sorga kelak, “Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (katakyrieusin auton) dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka (katexousiazousin). Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Mrk 10:42-44; Mat 20:25-27; Luk 22:25-26). Jadi, kuasa berarti melayani sedangkan penguasa berarti hamba. Kekuasaan macam itu akan menghantar orang pada kesejahteraan.
Salah satu penekanan Daniel 7 ini adalah agar orang percaya tidak tawar hati dalam menghadapi kekuasaan bahkan yang tampak sangat mengerikan sekali pun. Ayat 14 menunjuk pada Kristus yang berkuasa sebagai Raja, bukan raja perang atau politis, tetapi Raja Damai yang kekuasaannya kekal, berbeda dengan kekuasaan bangsa-bangsa yang akan berakhir.
Kita masih berada di bawah kekuasaan dunia, yang terkadang menakutkan. Tetapi jangan lupa, kita juga adalah warga Kerajaan Surga, Raja kita memiliki kuasa melampaui kuasa apa pun, kekuasaan-Nya kekal dan selalu berisi damai sejahtera. Itulah menguatkan kita.
· Kehidupan kita di dunia ini tidaklah kekal, hanya satu yang kekal yaitu kekuasaan Allah.
· Karena itu, böi tahalö esuanöda khö nawöda. Hidup ini ibarat roda, naik turun, bahkan kecantikan/ketampanan sekarang pun pada akhirnya tidak berarti apa-apa, kita ini menuju tua, akore ba gafuariata, jadi tidak perlu sombong atau angkuh.
· Ketika mati, biasanya kita menginginkan orang-orang berkata: “wah, mengapa dia cepat meninggal,” daripada nanti orang berkata: “syukurlah, dia sudah mati.”
· Apa pun dan bagaimana pun kekuasaan dunia ini, tidak ada yang abadi. Tetapi, kekuasaan dan kerajaan Allah tidak akan lenyap.
“Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Daniel 7:14b)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar