Minggu, 10 November 2024

Memberi dari Kekurangan – Tabe’e Moroi ba Wo’amböta (1 Raja-Raja 17:7-16)

Bahan Khotbah Minggu, 10 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu.
8 Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia:
9 “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”
10 Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum.”
11 Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: “Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti.”
12 Perempuan itu menjawab: “Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.”
13 Tetapi Elia berkata kepadanya: “Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu.
14 Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.”
15 Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.
16 Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.


Bagian sebelum 1 Raja-raja 17:7-16 memberikan konteks penting untuk pertemuan antara seorang wanita, yang kebetulan adalah seorang janda, dan seorang pria, yang kebetulan adalah seorang nabi. Dalam 1Raj. 17:1 Elia mengumumkan bahwa tidak akan ada embun atau hujan di negeri itu kecuali ia mewujudkannya dengan kuasa Tuhan. Allah memerintahkan Elia untuk berkemah di tepi sungai Kerit (ayat 3), dan sesudah beberapa waktu air di sungai itu pun akhirnya menguap dalam kekeringan sebab hujan tiada turun di negeri itu (ayat 7). Sungai Kerit ini merupakan sungai kering di padang pasir, disebut Wadi, yang hanya berisi air jika hujan turun.

Elia adalah sosok yang terisolasi, jauh dari keramaian, dan sepertinya dia suka menyendiri (introvert), dapat telihat di sepanjang hidupnya. Ketika kita membaca pertama kali tentang Elia, ia sedang sendirian di tepi Kerit, dengan burung gagak yang memberinya makan. Kontak manusia pertama yang ia lakukan dalam cerita tersebut hanya terjadi setelah Tuhan memerintahkannya untuk mendekati orang lain, seorang wanita (janda) di Sarfat, termasuk wilayah Sidon (bagian paling utara Kanaan). Tuhan memerintahkan Elia untuk “bersiap dan pergi” menemui wanita ini untuk mendapatkan bekal/makanan.

Pada ayat 9 TUHAN berkata kepada Elia: “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” Ingat, seorang “janda” yang status sosialnya rendah di masyarakat, diberi tugas (diperintahkan) oleh TUHAN Allah untuk memberi makan seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang secara ekonomi sangat miskin, ternyata diberi tugas oleh TUHAN Allah untuk menghidupi seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang selama ini tidak dianggap dalam masyarakat, atau dianggap rendah dalam masyarakat, ternyata TUHAN mengangkat derajatnya menjadi orang yang menafkahi seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang selama ini HIDUP DALAM KEKURANGAN, seorang “janda” yang sedang menuju kematian (karena ketiadaan kebutuhan), ternyata dimampukan oleh TUHAN untuk memberi makan seorang laki-laki, nabi Elia; janda ini memberi dari kekurangan yang dimilikinya.

Pada ayat 12, kita mengetahui bahwa perempuan ini bukan hanya seorang janda, melainkan ia juga seorang ibu; dia memiliki seorang anak, yang juga sedang hidup dalam kekurangan, dan seperti pengakuannya kepada Elia, bahwa “setelah kami memakannya, maka kami akan mati.” Elia kemungkinan besar pada awalnya tidak tahu situasi janda dan anaknya ini, yang dia tahu bahwa Allah memerintahkannya untuk mencarinya. Ketika Elia meminta sedikit makanan kepadanya, ia mengungkapkan keputusasaannya akan kekurangan yang dialami keluarganya. Ia sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu untuk menyalakan api dan mengolah sisa bahan makanan terakhir yang mereka miliki. Elia bertemu dengannya ketika ia sedang mempersiapkan makan terakhir bagi keluarganya (di ayat 12 sang janda itu mengatakan: “setelah kami memakannya, maka kami akan mati”).

Ketika membaca dan merenungkan teks ini, kita mungkin menganggap Elia tidak peka terhadap kekurangan sang janda itu. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak takut, lalu ia kemudian memerintahkannya untuk membuatnya sepotong roti bundar kecil, barulah kemudian janda itu membuat “makanan” (roti kecil) untuk dirinya dan untuk anaknya (ay. 13). Kalau kita pikir-pikir pada zaman sekarang, kita bisa saja menegur Elia karena mendahulukan kebutuhannya sendiri di atas kebutuhan janda itu dan anaknya. Bagaimana mungkin seorang nabi laki-laki, nabi Elia, sampai hati “memaksa” janda yang berkekurangan dan sedang putus asa (karena kehabisan bahan makanan) untuk mendahulukan kebutuhannya di atas kebutuhan janda itu dan anaknya? Sungguh keterlaluan!

Tetapi, apabila kita membaca ayat-ayat sebelumnya, terutama dari pasal 17:1, kita akan mengetahui bahwa Elia, atas perkenan TUHAN Allah, telah mengklaim kekuasaan atas hujan, yang sekaligus menjadi jaminan bahwa TUHAN Allah pasti menyediakan kebutuhan sang janda itu dan anaknya. Jaminan ini semakin terlihat di ayat 14: “Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.” Ini merupakan nubuat tentang tentang berkat dan pemeliharaan Allah kepada umat-Nya. Allah memerintahkan Elia untuk mencari janda itu agar dapat menyediakan kebutuhan nabi, dan dengan melakukan hal itu, nabi Elia, oleh kuasa TUHAN, juga menyediakan kebutuhan janda itu. Dalam ayat 15 dan 16, kita melihat bahwa janda itu mendengarkan perkataannya, dan nubuat tentang pemeliharaannya juga terpenuhi. “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia” (ay. 16). Kebutuhannya terpenuhi dan tidak pernah habis selama musim kemarau yang panjang.

Kisah ini memperlihatkan prinsip utama bahwa kondisi kekeringan (tidak ada embun atau hujan selama beberapa tahun) adalah akibat dari KETIDAKTAATAN Raja Ahab dari Israel. Dalam Ulangan 11:13–14, Allah berfirman bahwa: “Jika kamu (para pemimpin dan umat Israel) dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, maka Ia akan memberikan hujan untuk tanahmu pada masanya, hujan awal dan hujan akhir, sehingga engkau dapat mengumpulkan gandummu, anggurmu dan minyakmu.” Sebaliknya, jika mereka beribadah dan taat kepada ilah-ilah lain, maka: “... akan bangkitlah murka TUHAN terhadap kamu dan Ia akan menutup langit, sehingga tidak ada hujan dan tanah tidak mengeluarkan hasil, lalu kamu lenyap dengan cepat dari negeri yang baik yang diberikan TUHAN kepadamu” (Ulangan 11:17).

Ellen Davis, seorang teolog/profesor bidang Teologi Biblika dan Praktika dari Sekolah Tinggi Teologi Duke, di Durham Inggris, meringkas asas teologis tentang hukum pahala (reward)dan pembalasan (punishment) ini: “Secara keseluruhan, dari sudut pandang Alkitab, kesuburan dan keberlangsungan hidup bumi, atau khususnya tanah Israel, adalah indikator terbaik kesehatan atau kebaikan hubungan perjanjian antara pemimpin dan umat Israel dengan TUHAN.” Secara umum, seorang pemimpin dan umat yang taat dan setia kepada TUHAN, akan memberi jaminan tentang keberlanjutan kesuburan tanah serta kemakmuran penduduknya.

Dalam 1 Raja-Raja 16:31–33 sudah mengisyaratkan bahwa raja Ahab jauh dari kata setia, menyembah Baal dan membangun kuil Baal di Samaria. Namun, kisah tentang janda dan anaknya ini menggambarkan bagaimana hukuman akibat perbuatan raja itu berdampak pada orang-orang yang paling rentan di masyarakat. Ulah para pemimpin atau pejabat yang tidak taat kepada TUHAN, yang tidak peduli dengan ketentuan TUHAN dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka, akan berdampak kepada seluruh masyarakat, termasuk orang-orang yang paling rentan (janda, anak yatim-piatu, dan orang-orang asing/perantau). Kisah ini menggambarkan bagaimana konsekuensi dari kepemimpinan yang tidak setia atau kepemimpinan yang buruk seringkali menyebabkan kerugian terbesar bagi orang-orang yang paling rentan di masyarakat.

Dari kisah pertemuan nabi Elia dengan janda ini, kita dapat merenungkan bagaimana masyarakat kita seringkali merendahkan kaum yang rentan hanya dengan status atau label tertentu. Oleh sebab itu, gereja harusnya menjangkau kaum yang rentan, orang-orang yang mungkin memiliki kekurangan secara fisik dan mental, kaum yang dianggap rendah dalam masyarakat, kaum yang miskin, dan kaum yang berkekurangan; gereja dan kita semua harus memandang dan memperlakukan mereka sebagai manusia, dan seharusnya gereja memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan mereka.

Hari Minggu yang lalu, kita sudah diingatkan akan perintah untuk mengasihi Tuhan Allah segenap hidup kita, dan pada saat yang sama mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Markus 12:29-31). Bagaimana merealisasikan hal itu? Yaitu mengasihi Allah yang menuntut kesegenapan hidup kita, harus hadir sepenuhnya lewat kasih pada sesama kita. Sang janda yang miskin dan berkekurangan tadi sudah menunjukkan kepada kita bagaimana mengasihi TUHAN Allah dalam wujud kasih kepada sesama (nabi Elia). Kasih sang janda yang berkekurangan ini datang dalam bentuk makanan, yaitu makanan sehari-hari. Itu adalah makanan terakhir yang masih tersisa baginya dan anaknya. Kita juga bisa melakukannya dalam kehidupan kita sehari-hari, mengasihi TUHAN Allah segenap hidup kita dalam wujud menolong sesama kita yang membutuhkan, sekalipun kita juga mungkin sedang berkekurangan. Seperti tema khotbah Minggu ini: “Memberi dari Kekurangan – Tabe’e Moroi ba Wo’amböta.” Jangan tunggu sampai berkelimpahan dulu baru memberi, tunjukkanlah bahwa kita pun bisa memberi dari kekurangan yang kita miliki.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan (Amsal 11:24).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yesus Menaklukkan Roh Jahat (Lukas 8:26-39)

Khotbah Minggu, 22 Juni 2025 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo Hari ini kita diajak Lukas menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat di tanah Ger...