Sabtu, 23 November 2024

KEKUASAAN DAN KERAJAAN ALLAH TIDAK AKAN LENYAP – FA’ABÖLÖ BA AMATÖRÖWA LOWALANGI SI LÖ TEBULÖ (DANIEL 7:9-14)

Bahan khotbah Minggu Akhir Tahun Gerejani (Peringatan Hidup yang Kekal), 24 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

9 Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar;
10 suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya; seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya. Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab.
11 Aku terus melihatnya, karena perkataan sombong yang diucapkan tanduk itu; aku terus melihatnya, sampai binatang itu dibunuh, tubuhnya dibinasakan dan diserahkan ke dalam api yang membakar.
12 Juga kekuasaan binatang-binatang yang lain dicabut, dan jangka hidup mereka ditentukan sampai pada waktu dan saatnya.
13 Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.
14 Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.

Menurut kalander atau tahun gerejawi, hari ini kita memasuki “Akhir Tahun Gerejawi” yang juga disebut sebagai Minggu “Peringatan akan Hidup yang kekal” (BNKP). Di beberapa gereja, termasuk BNKP, pada hari ini dibacakan jumlah warga jemaat yang lahir dan meninggal selama satu tahun, menunjukkan adanya awal dan akhir kehidupan kita di dunia ini. Dengan kelahiran, kita diingatkan untuk mengisi kehidupan yang akan kita hidupi ke depan dengan baik, dan dengan kematian kita diingatkan untuk menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu ada batasnya, tidak ada yang kekal, maka jangan pernah menyalahartikan dan menyalahgunakan kehidupan di dunia ini.

Dalam penglihatannya sebagaimana diungkapkan oleh teks khotbah hari ini, Daniel pun melihat bahwa kehidupan manusia di dunia ini amatlah terbatas, dan secara khusus Daniel melihat bahwa kekuasaan raja-raja yang paling berkuasa sekalipun tetap akan berakhir, tidak ada yang abadi. Hanya satu yang tidak akan lenyap, kekuasaan dan kerajaan Allah.

Bagi orang Kristen, teks Daniel 7:9-14 sering dihubungkan dengan Yesus. Yesus sendiri mengutip bagian ini dalam Injil Markus dan Matius, menubuatkan bahwa murid-murid-Nya: “akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa” dan “datang dengan awan-awan di langit” (Markus 14:62) dan, dalam Matius, bahwa “semua suku di bumi … akan melihat ‘Anak Manusia datang di atas awan-awan di langit’ dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Matius 24:30).

Daniel 7:9-14 menyoroti pertama-tama tentang pemerintahan Allah, yang digambarkan dalam penglihatan Daniel sebagai “Yang Maha Tua,” dan kedua tentang pemerintahan kekal yang diberikan kepada seseorang seperti manusia. Dengan demikian, pemerintahan dan kedaulatan merupakan tema utama dalam bagian ini. Pemerintahan surgawi — dan kerajaan surgawi — tidak terpisahkan dari pemerintahan duniawi. Kitab Daniel mengutarakan hubungan antara pemerintahan duniawi dan surgawi, dengan menekankan bahwa otoritas kedaulatan raja-raja duniawi bergantung pada kehendak Allah (lih. Daniel 2:21, 5:32).

Kisah-kisah dalam Daniel menggambarkan raja-raja Babel yang memerintahkan penyembahan berhala (pasal 3) dan membayangkan diri mereka berada di tempat Tuhan (pasal 4, 6). Kita belajar di akhir pasal 5 bahwa kesombongan dan kefasikan Raja Belsyazar mendorong Allah untuk mengakhiri kekuasaan Belsyazar (Daniel 5:26-28). Seorang raja baru, Darius dari Media, “menerima kerajaan” segera setelah kematian Belsyazar (5:30). Penglihatan Daniel dalam pasal 7 menyingkapkan bahwa, pada waktunya, kekaisaran lain akan menggantikan kekaisaran Darius, dan orang-orang Yudea akan terus menderita di bawah kekuasaan asing. Demikian seterusnya, kekuasaan dan pemerintahan raja-raja itu silih berganti, tidak ada yang abadi. Daniel 7 muncul selama penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi di Yudea oleh Antiokhus IV Epifanes.

Penglihatan tentang seseorang yang seperti manusia menawarkan harapan bagi orang-orang Yahudi yang telah tunduk pada kekuasaan asing selama lebih dari empat abad dan sekarang menjadi korban teror dan penganiayaan negara. Rumah-rumah mereka dibakar, orang-orang yang mereka kasihi disiksa dan dibantai, dan bait suci mereka dinodai oleh “kekejian yang membinasakan” (Daniel 9:27, 11:31, 12:11). Maka, penglihatan Daniel ini memungkinkan mereka untuk melihat sesuatu yang lain: akhir dari kekuasaan dan kerajaan para raja itu, dan bahwa hanya kekuasaan Allah yang berdaulat, kerajaan-Nya tidak akan lenyap. Raja yang menganiaya mereka digambarkan sebagai binatang buas yang mengerikan dan bermutasi (7:7-8), tetapi pada akhirnya akan binasa (7:11), sama seperti kerajaan-kerajaan sebelumnya (7:12). Sebagai gantinya, Allah akan mendirikan kerajaan yang baru yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah (7:14). Hal ini akan diberikan bukan hanya kepada orang yang seperti manusia, tetapi juga “kepada orang-orang kudus milik Yang Mahatinggi” (7:27). Dengan melakukan hal itu, Allah berusaha untuk membebaskan dan memberdayakan yang tertindas, dan mengesahkan pemerintahan yang adil di bumi seperti di surga.

Daniel mengaku bahwa penglihatan yang ia terima sangat menggelisahkan hingga membuat dia menjadi pucat (ayat 15 dan 28). Sejujurnya, penglihatan ini juga menggelisahkan saya. Banyak hal tidak saya mengerti. Pertaanyaan saya lebih banyak ketimbang apa yang saya dapat jawab dari pertanyaan yang mengemuka dari nas ini. Untuk itu, saya memberi perhatian pada dua hal utama.

Pertama, ada beragam cara Allah menyatakan kehendak-Nya tetapi semuanya bertujuan untuk meneguhkan iman kepada-Nya. “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibrani 1:1-2). Daniel mendapat penglihatan dalam mimpinya. Itu adalah salah satu cara Allah menyatakan diri dan rencana-Nya. Kepada kita, Allah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya. Semuanya sudah dinyatakan Yesus Kristus kepada kita agar kita setia.

Kedua, bersandar pada kekuasaan Allah menghadapi kekuasaan dunia ini. Sudah sejak lama kerajaan dan kekuasaan bangsa-bangsa berlomba-lomba untuk menjadi yang terunggul, bersaing untuk menjadi yang terhebat, berusaha menaklukkan yang lain melalui ideologi, perdagangan bahkan peperangan. Seringkali kekuasaan diselewengkan menjadi penindasan. Orang-orang percaya pun seringkali menjadi korban penganiayaan oleh kekuasaan yang lalim.

Dalam Perjanjian Lama, kekuasaan dipahami pertama-tama sebagai milik Allah. Hanya Allah yang berkuasa atas hidup manusia. Manusia tidak pernah diberi Allah kuasa untuk berkuasa atas sesamanya. Kalaupun manusia berkuasa, kekuasaan itu merupakan kekuasaan yang bersifat partisipatif pada kekuasaan Allah. Bertolak dari Mzm 72, Verkuyl menyimpulkan bahwa kekuasaan dan wibawa raja itu tidak diperoleh dengan sendirinya. Kekuasaan diberikan oleh Allah. Dalam hal ini, sejatinya kekuasaan adalah untuk kebaikan umat. Kuasa harus diberlakukan seturut kehendak Pemberinya.

Sebagai pemberian Allah, kuasa seharusnya tidak disalahgunakan. Tetapi, sepanjang sejarah perjalanan umat manusia penyalahgunaan kekuasaan seringkali terjadi. Yang khas muncul di dalam Perjanjian Lama adalah kritik profetis terhadap kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Para nabi menolak segala bentuk pemujaan berhala yang dibuat oleh kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Mereka juga menolak bentuk pemujaan terhadap penguasa karena melawan Hukum Taurat.

Sehubungan dengan itu, Perjanjian Baru menegaskan bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia adalah raja segala raja di bumi. Kepada-Nyalah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Mat 28). Untuk lebih menjelaskan ini dapat dilihat dalam peristiwa pengadilan Yesus. Ketika Ia berdiri di hadapan Prokurator Romawi, Ia berhadapan dengan wakil kekaisaran Romawi yang bersemboyan “kekuasaan adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah hak (fa’abölö ya fa’abölö, ni’okhögö da’ö).” Pilatus menyangka bahwa ia dapat berbuat sekehendak hatinya dengan kekuasaannya. Baginya yang terpenting ialah Res Publica Imperium Romanum (kepentingan umum kekaisaran Romawi). Di sini Yesus mengingatkan sumber sejati kekuasaan, yaitu Allah sendiri. Yesus menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh 19:11a).

Firman Tuhan yang menunjukkan perbedaan praktik kekuasaan dalam lingkup politis (pada masa Yesus) dan dalam lingkup komunitas kristiani perdana adalah sabda Yesus, sebagai jawaban terhadap para murid yang menginginkan tempat yang terhormat dalam Kerajaan Sorga kelak, “Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi (katakyrieusin auton) dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka (katexousiazousin). Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Mrk 10:42-44; Mat 20:25-27; Luk 22:25-26). Jadi, kuasa berarti melayani sedangkan penguasa berarti hamba. Kekuasaan macam itu akan menghantar orang pada kesejahteraan.

Salah satu penekanan Daniel 7 ini adalah agar orang percaya tidak tawar hati dalam menghadapi kekuasaan bahkan yang tampak sangat mengerikan sekali pun. Ayat 14 menunjuk pada Kristus yang berkuasa sebagai Raja, bukan raja perang atau politis, tetapi Raja Damai yang kekuasaannya kekal, berbeda dengan kekuasaan bangsa-bangsa yang akan berakhir.

Kita masih berada di bawah kekuasaan dunia, yang terkadang menakutkan. Tetapi jangan lupa, kita juga adalah warga Kerajaan Surga, Raja kita memiliki kuasa melampaui kuasa apa pun, kekuasaan-Nya kekal dan selalu berisi damai sejahtera. Itulah menguatkan kita.

· Kehidupan kita di dunia ini tidaklah kekal, hanya satu yang kekal yaitu kekuasaan Allah.
· Karena itu, böi tahalö esuanöda khö nawöda. Hidup ini ibarat roda, naik turun, bahkan kecantikan/ketampanan sekarang pun pada akhirnya tidak berarti apa-apa, kita ini menuju tua, akore ba gafuariata, jadi tidak perlu sombong atau angkuh.
· Ketika mati, biasanya kita menginginkan orang-orang berkata: “wah, mengapa dia cepat meninggal,” daripada nanti orang berkata: “syukurlah, dia sudah mati.”
· Apa pun dan bagaimana pun kekuasaan dunia ini, tidak ada yang abadi. Tetapi, kekuasaan dan kerajaan Allah tidak akan lenyap.


“Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Daniel 7:14b)

Sabtu, 16 November 2024

KUATKAN DAN TEGUHKANLAH HATIMU – YA’ABÖLÖ NDRA’UGÖ, YA’ABE’E DÖDÖU (YOSUA 1:6-9)

Bahan Penelaahan Alkitab (PA), Minggu ke-3 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

6 Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka untuk diberikan kepada mereka.
7 Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi.
8 Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.
9 Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi.

Keteguhan Hati Menghadapi Masa-masa Sulit dan Orang-orang Sulit
Suksesi kepemimpinan di Israel terjadi sepeninggal Musa. Yosua menerima mandat untuk melanjutkan kepemimpinan. Namun, tampaknya Yosua “kecut dan tawar hati” menerima mandat itu, hal ini terlihat jelas pada kata-kata TUHAN di ayat 9b “Janganlah kecut dan tawar hati …” Yosua ragu-ragu, bimbang, dan tidak percaya diri memimpin bangsa itu, sehingga TUHAN perlu menguatkan dan meneguhkan hatinya. Mengapa Yosua kecut dan tawar hati? Mengapa dia ragu, bimbang, dan tidak percaya diri memimpin bangsa Israel? Bukankah seharusnya dia bangga karena diberi mandat menjadi pemimpin (seperti sekarang ini orang-orang lagi berburu kekuasaan)?

Yosua sadar bahwa bangsa yang akan dia pimpin adalah bangsa besar, umat pilihan TUHAN, sehingga tanggung jawabnya amat besar dan berat. Yosua juga tahu bagaimana watak bangsa Israel; mereka adalah bangsa yang keras kepala, susah diatur, sulit dipimpin, walaupun mereka umat pilihan TUHAN. Musa yang sudah senior dan berpengalaman saja seringkali kelabakan memimpin mereka, apalagi Yosua yang baru diangkat menjadi pemimpin, wah … berat. Yosua juga tahu betul bahwa dia akan memimpin bangsa itu memasuki tanah perjanjian, tanah Kanaan, yang sebenarnya masih ada penduduknya, dan orang-orangnya tidak mudah ditaklukkan.

Jadi, memimpin bangsa Israel menuju tanah Kanaan merupakan tugas yang amat berat, dan Yosua menyadari bahwa dirinya belumlah siap untuk itu, sehingga dia pun kecut dan tawar hati. Namun, TUHAN tahu pergumulan Yosua, sehingga Dia meyakinkan dan memberi jaminan kepada Yosua bahwa dia akan berhasil karena TUHAN sendiri yang menyertai kepemimpinannya dan perjalanan bangsa itu menuju tanah Kanaan. Maka, dalam teks ini, TUHAN menyampaikan kata-kata “kuatkan dan teguhkanlah hatimu” sebanyak tiga kali (ay. 6, 7, 9).

Kunci Kekuatan dan Keteguhan Hati: Penyertaan Tuhan
Pada ayat 5 dikatakan: “… seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai Engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau”. Dipertegas lagi pada ayat 9, “…sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau ke mana pun engkau pergi.” Berdasarkan jaminan Tuhan inilah kita memahami apa yang dikatakan dalam ayat 6: “kuatkan dan teguhkanlah hatimu.” Yosua dapat menjadi kuat dan teguh “karena” penyertaan Tuhan, karena Tuhan tidak akan meninggalkan Yosua dan umat-Nya. Dengan kata-kata ini Yosua diharapkan untuk tidak lagi kecut dan tawar hati seperti disebutkan di ayat 9, untuk tidak lagi ragu, tidak bimbang, dan tidak percaya diri. Kuatkan dan teguhkanlah hatimu menjalani kehidupan, melaksanakan tugas dan tanggung jawabmu, sebab TUHAN pasti menyertai.

Kata-kata “kuatkan dan teguhkanlah hatimu” disebutkan sampai tiga kali (ayat 6, 7 dan 9). Pengulangan ini kita maknai sebagai sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Hati yang kuat dan teguh sangat dibutuhkan, sebab tugas Yosua tidak mudah. Perjalanan penuh tantangan. Umat yang dipimpin pun terkadang gampang bersungut-sungut bahkan dikenal tegar tengkuk. Di tengah mereka ada orang-orang sulit. Tanpa kekuatan dan keteguhan hati, seorang pemimpin dalam situasi seperti itu, akan mudah menjadi frustrasi atau putus asa.

Dalam kaitan dengan hati yang kuat dan teguh itu ada tiga hal penting yang perlu dihidupi oleh Yosua:
(1) Memperkatakan dan merenungkan kitab Taurat (ayat 8). Kitab Taurat adalah pemberian Allah. Dan segala pemberian Allah pastilah yang baik. Allah menghendaki manusia hidup dalam keteraturan, hidup dalam harmoni dengan Allah, sesama manusia dan alam ciptaan Tuhan. Segala keputusan yang dia ambil, harus berdasar pada Taurat Tuhan.

(2) Bertindak hati-hati (disebutkan dua kali, ayat 7 dan 8). Hati yang kuat dan teguh pasti hati-hati, tidak ceroboh dan bertindak bodoh. Ciri hati yang terus terpaut dengan Tuhan adalah hati-hati, terutama dalam pengambilan keputusan yang selalu membawa kebaikan bagi umat Tuhan, bukan keputusan yang diambil dalam keputusasaan.

Apabila Yosua melakukan kedua hal di atas, dan oleh karena penyertaan TUHAN tentunya, maka perjalanannya akan berhasil dan beruntung (juga disebut dua kali, ayat 7 dan 8). Hasil yang baik adalah perpaduan penyertaan Tuhan dan sambutan manusia dengan menjalani hidup seturut kehendak-Nya. Hidup kita ini memang anugerah Tuhan, kita percaya bahwa Dia pasti menyertai, tetapi harus juga ada respons yang baik dari kita untuk menyambut anugerah Allah itu.

Tuhan, Yosua dan Kita
Hidup kita masih dalam perjalanan. Dalam perjalanan itu kita bisa saja menghadapi berbagai tantangan, bukan saja dari luar, tetapi juga dari teman seperjalanan. Tetapi syukur kepada Tuhan, penyertaan-Nya tidak pernah berakhir. Begitu pentingnya penyertaan Tuhan itu, sehingga Yesus pun menegaskan sebagaimana dalam Matius 28:20 “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Ba hiza, fao khömi ndraʼo, ero maʼökhö, irugi gamozua götö danö andrö). Tuhan yang menyatakan penyertaan-Nya kepada Yosua dan umat Israel, dan Tuhan yang menjamin penyertaan-Nya kepada murid-murid-Nya dahulu kala adalah Tuhan yang sama yang tetap menyertai perjalanan hidup kita sekarang ini.

Kesadaran dan iman seperti ini amat menentukan suasana hati dan gerak hidup kita hari-hari ini dalam berbagai tantangan kehidupan yang kita hadapi. Dunia ini, dengan segala hiruk pikuknya, bisa memberi 1000 alasan kepada kita untuk kecut hati bahkan meratap, tetapi ada 1 alasan kita untuk tetap teguh dan sukacita, dan satu alasan ini lebih kuat dari 1000 alasan dunia ini, yaitu: “penyertaan Tuhan.” Dalam penyertaan Tuhan inilah kita jalani hidup sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya berhadapan dengan tantangan perjalanan hidup dan berjalan bersama dengan orang-orang yang Tuhan tempatkan bersama-sama dengan kita.

Hati yang kuat dan teguh mampu menghadapi berbagai tantangan zaman karena mengandalkan penyertaan Tuhan. Orang yang seperti itu antara lain:
· Tidak dikendalikan situasi, tetapi mengendalikan situasi;
· Tidak dikendalikan gadget, tetapi mengendalikan gadget;
· Tidak “digarami” dunia, tetapi menggarami dunia;
· Peka melihat tanda-tanda kerajaan Allah dalam situasi sepahit apa pun, seperti: masih banyaknya orang yang berpikir jernih dan berjuang untuk kebaikan, adanya kesempatan untuk melakukan berbagai kebaikan, tersedianya penopang kehidupan dan sebagainya.


Tuhan menyertai kita semua. Amin.

Minggu, 10 November 2024

Memberi dari Kekurangan – Tabe’e Moroi ba Wo’amböta (1 Raja-Raja 17:7-16)

Bahan Khotbah Minggu, 10 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu.
8 Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia:
9 “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”
10 Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum.”
11 Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: “Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti.”
12 Perempuan itu menjawab: “Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.”
13 Tetapi Elia berkata kepadanya: “Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu.
14 Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.”
15 Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.
16 Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.


Bagian sebelum 1 Raja-raja 17:7-16 memberikan konteks penting untuk pertemuan antara seorang wanita, yang kebetulan adalah seorang janda, dan seorang pria, yang kebetulan adalah seorang nabi. Dalam 1Raj. 17:1 Elia mengumumkan bahwa tidak akan ada embun atau hujan di negeri itu kecuali ia mewujudkannya dengan kuasa Tuhan. Allah memerintahkan Elia untuk berkemah di tepi sungai Kerit (ayat 3), dan sesudah beberapa waktu air di sungai itu pun akhirnya menguap dalam kekeringan sebab hujan tiada turun di negeri itu (ayat 7). Sungai Kerit ini merupakan sungai kering di padang pasir, disebut Wadi, yang hanya berisi air jika hujan turun.

Elia adalah sosok yang terisolasi, jauh dari keramaian, dan sepertinya dia suka menyendiri (introvert), dapat telihat di sepanjang hidupnya. Ketika kita membaca pertama kali tentang Elia, ia sedang sendirian di tepi Kerit, dengan burung gagak yang memberinya makan. Kontak manusia pertama yang ia lakukan dalam cerita tersebut hanya terjadi setelah Tuhan memerintahkannya untuk mendekati orang lain, seorang wanita (janda) di Sarfat, termasuk wilayah Sidon (bagian paling utara Kanaan). Tuhan memerintahkan Elia untuk “bersiap dan pergi” menemui wanita ini untuk mendapatkan bekal/makanan.

Pada ayat 9 TUHAN berkata kepada Elia: “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” Ingat, seorang “janda” yang status sosialnya rendah di masyarakat, diberi tugas (diperintahkan) oleh TUHAN Allah untuk memberi makan seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang secara ekonomi sangat miskin, ternyata diberi tugas oleh TUHAN Allah untuk menghidupi seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang selama ini tidak dianggap dalam masyarakat, atau dianggap rendah dalam masyarakat, ternyata TUHAN mengangkat derajatnya menjadi orang yang menafkahi seorang laki-laki, nabi Elia. Seorang “janda” yang selama ini HIDUP DALAM KEKURANGAN, seorang “janda” yang sedang menuju kematian (karena ketiadaan kebutuhan), ternyata dimampukan oleh TUHAN untuk memberi makan seorang laki-laki, nabi Elia; janda ini memberi dari kekurangan yang dimilikinya.

Pada ayat 12, kita mengetahui bahwa perempuan ini bukan hanya seorang janda, melainkan ia juga seorang ibu; dia memiliki seorang anak, yang juga sedang hidup dalam kekurangan, dan seperti pengakuannya kepada Elia, bahwa “setelah kami memakannya, maka kami akan mati.” Elia kemungkinan besar pada awalnya tidak tahu situasi janda dan anaknya ini, yang dia tahu bahwa Allah memerintahkannya untuk mencarinya. Ketika Elia meminta sedikit makanan kepadanya, ia mengungkapkan keputusasaannya akan kekurangan yang dialami keluarganya. Ia sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu untuk menyalakan api dan mengolah sisa bahan makanan terakhir yang mereka miliki. Elia bertemu dengannya ketika ia sedang mempersiapkan makan terakhir bagi keluarganya (di ayat 12 sang janda itu mengatakan: “setelah kami memakannya, maka kami akan mati”).

Ketika membaca dan merenungkan teks ini, kita mungkin menganggap Elia tidak peka terhadap kekurangan sang janda itu. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak takut, lalu ia kemudian memerintahkannya untuk membuatnya sepotong roti bundar kecil, barulah kemudian janda itu membuat “makanan” (roti kecil) untuk dirinya dan untuk anaknya (ay. 13). Kalau kita pikir-pikir pada zaman sekarang, kita bisa saja menegur Elia karena mendahulukan kebutuhannya sendiri di atas kebutuhan janda itu dan anaknya. Bagaimana mungkin seorang nabi laki-laki, nabi Elia, sampai hati “memaksa” janda yang berkekurangan dan sedang putus asa (karena kehabisan bahan makanan) untuk mendahulukan kebutuhannya di atas kebutuhan janda itu dan anaknya? Sungguh keterlaluan!

Tetapi, apabila kita membaca ayat-ayat sebelumnya, terutama dari pasal 17:1, kita akan mengetahui bahwa Elia, atas perkenan TUHAN Allah, telah mengklaim kekuasaan atas hujan, yang sekaligus menjadi jaminan bahwa TUHAN Allah pasti menyediakan kebutuhan sang janda itu dan anaknya. Jaminan ini semakin terlihat di ayat 14: “Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi.” Ini merupakan nubuat tentang tentang berkat dan pemeliharaan Allah kepada umat-Nya. Allah memerintahkan Elia untuk mencari janda itu agar dapat menyediakan kebutuhan nabi, dan dengan melakukan hal itu, nabi Elia, oleh kuasa TUHAN, juga menyediakan kebutuhan janda itu. Dalam ayat 15 dan 16, kita melihat bahwa janda itu mendengarkan perkataannya, dan nubuat tentang pemeliharaannya juga terpenuhi. “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia” (ay. 16). Kebutuhannya terpenuhi dan tidak pernah habis selama musim kemarau yang panjang.

Kisah ini memperlihatkan prinsip utama bahwa kondisi kekeringan (tidak ada embun atau hujan selama beberapa tahun) adalah akibat dari KETIDAKTAATAN Raja Ahab dari Israel. Dalam Ulangan 11:13–14, Allah berfirman bahwa: “Jika kamu (para pemimpin dan umat Israel) dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, maka Ia akan memberikan hujan untuk tanahmu pada masanya, hujan awal dan hujan akhir, sehingga engkau dapat mengumpulkan gandummu, anggurmu dan minyakmu.” Sebaliknya, jika mereka beribadah dan taat kepada ilah-ilah lain, maka: “... akan bangkitlah murka TUHAN terhadap kamu dan Ia akan menutup langit, sehingga tidak ada hujan dan tanah tidak mengeluarkan hasil, lalu kamu lenyap dengan cepat dari negeri yang baik yang diberikan TUHAN kepadamu” (Ulangan 11:17).

Ellen Davis, seorang teolog/profesor bidang Teologi Biblika dan Praktika dari Sekolah Tinggi Teologi Duke, di Durham Inggris, meringkas asas teologis tentang hukum pahala (reward)dan pembalasan (punishment) ini: “Secara keseluruhan, dari sudut pandang Alkitab, kesuburan dan keberlangsungan hidup bumi, atau khususnya tanah Israel, adalah indikator terbaik kesehatan atau kebaikan hubungan perjanjian antara pemimpin dan umat Israel dengan TUHAN.” Secara umum, seorang pemimpin dan umat yang taat dan setia kepada TUHAN, akan memberi jaminan tentang keberlanjutan kesuburan tanah serta kemakmuran penduduknya.

Dalam 1 Raja-Raja 16:31–33 sudah mengisyaratkan bahwa raja Ahab jauh dari kata setia, menyembah Baal dan membangun kuil Baal di Samaria. Namun, kisah tentang janda dan anaknya ini menggambarkan bagaimana hukuman akibat perbuatan raja itu berdampak pada orang-orang yang paling rentan di masyarakat. Ulah para pemimpin atau pejabat yang tidak taat kepada TUHAN, yang tidak peduli dengan ketentuan TUHAN dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka, akan berdampak kepada seluruh masyarakat, termasuk orang-orang yang paling rentan (janda, anak yatim-piatu, dan orang-orang asing/perantau). Kisah ini menggambarkan bagaimana konsekuensi dari kepemimpinan yang tidak setia atau kepemimpinan yang buruk seringkali menyebabkan kerugian terbesar bagi orang-orang yang paling rentan di masyarakat.

Dari kisah pertemuan nabi Elia dengan janda ini, kita dapat merenungkan bagaimana masyarakat kita seringkali merendahkan kaum yang rentan hanya dengan status atau label tertentu. Oleh sebab itu, gereja harusnya menjangkau kaum yang rentan, orang-orang yang mungkin memiliki kekurangan secara fisik dan mental, kaum yang dianggap rendah dalam masyarakat, kaum yang miskin, dan kaum yang berkekurangan; gereja dan kita semua harus memandang dan memperlakukan mereka sebagai manusia, dan seharusnya gereja memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan mereka.

Hari Minggu yang lalu, kita sudah diingatkan akan perintah untuk mengasihi Tuhan Allah segenap hidup kita, dan pada saat yang sama mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Markus 12:29-31). Bagaimana merealisasikan hal itu? Yaitu mengasihi Allah yang menuntut kesegenapan hidup kita, harus hadir sepenuhnya lewat kasih pada sesama kita. Sang janda yang miskin dan berkekurangan tadi sudah menunjukkan kepada kita bagaimana mengasihi TUHAN Allah dalam wujud kasih kepada sesama (nabi Elia). Kasih sang janda yang berkekurangan ini datang dalam bentuk makanan, yaitu makanan sehari-hari. Itu adalah makanan terakhir yang masih tersisa baginya dan anaknya. Kita juga bisa melakukannya dalam kehidupan kita sehari-hari, mengasihi TUHAN Allah segenap hidup kita dalam wujud menolong sesama kita yang membutuhkan, sekalipun kita juga mungkin sedang berkekurangan. Seperti tema khotbah Minggu ini: “Memberi dari Kekurangan – Tabe’e Moroi ba Wo’amböta.” Jangan tunggu sampai berkelimpahan dulu baru memberi, tunjukkanlah bahwa kita pun bisa memberi dari kekurangan yang kita miliki.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan (Amsal 11:24).

Sabtu, 02 November 2024

Mengasihi Tuhan Allah dan Sesama Manusia (Markus 12:28-34)

Bahan Khotbah Minggu, 3 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

28 Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?”
29 Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.
30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
32 Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.
33 Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.”
34 Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.

Nas khotbah hari ini muncul di tengah-tengah atau berada dalam konteks perbedaan pendapat, pertentangan, bahkan permusuhan antara kelompok pemimpin Yahudi, yakni imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, tua-tua Yahudi, orang-orang Farisi, orang-orang Saduki, dan orang-orang Herodian, dengan Tuhan Yesus. Para pemimpin Yahudi ini berupaya menjebak Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menjatuhkan Dia. Bahkan, mereka tidak segan-segan memuji Yesus, seolah-olah mereka percaya pada Yesus (Markus 12:14), padahal Yesus tahu bahwa pujian itu hanyalah jebakan saja. Istilahnya “nifanuko bua mbala, lalulugö yawa sakali, ena’ö aekhu tou” (seperti memetik/mengambil buah pepaya, diseruduk/disorong/didorong dulu ke atas, supaya kemudian buah pepaya itu jatuh ke bawah).

Dalam menanggapi sikap dan pertanyaan jebakan dari para pemimpin Yahudi ini, Yesus sangat hati-hati. Kadang Dia tidak memberi jawaban langsung; Dia malah mengajukan pertanyaan kembali kepada mereka (ketika mereka mempertanyakan dari mana kuasa-Nya, dan kemudian dijawab Yesus dengan bertanya kepada mereka ‘dari mana baptisan Yohanes, apakah dari surga atau dari dunia,’ Mrk. 11:27-33); kadang Ia menjawab dengan kalimat yang bermakna ganda (tentang membayar pajak kepada Kaisar, 12:13-17); atau menanggapi dengan samar-samar atau kurang jelas (ketika ada pertanyaan tentang perempuan yang pernah menikah dengan tujuh orang bersaudara, siapakah nanti yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan, 12:18-27). Inti jawaban Yesus kepada mereka tentang suami perempuan itu pada hari kebangkitan adalah dengan meluruskan pemahaman orang-orang Saduki itu tentang siapakah Allah yang sebenarnya, yaitu bahwa: “Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (ay. 27).

Pertanyaan-pertanyaan para pemimpin Yahudi itu benar-benar menempatkan Yesus dalam posisi yang “dilematis dan problematis,” karena tujuan mereka hanya untuk “menguji/menjebak” Yesus, supaya ada alasan bagi mereka untuk menjatuhkan Dia. Tetapi, kita bersyukur karena Yesus tidak terjebak sama sekali dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjatuhkan itu. Dia selalu menjawab dengan cermat, sehingga membuat mereka bingung sendiri, dan pada teks khotbah yang telah kita bacakan tadi, di ayat 34b dikatakan bahwa “seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.”

Tetapi, tidak semua juga para pemimpin Yahudi bertentangan atau bermusuhan dengan Yesus. Ada memang orang yang sungguh-sungguh mengajukan pertanyaan kepada-Nya untuk mendapatkan kepastian yang sesungguhnya. Dalam teks khotbah hari ini, tadi dikatakan bahwa ada seorang pemimpin Yahudi, yaitu seorang ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus: “Hukum manakah yang paling utama?” Pertanyaan ahli Taurat ini muncul karena ada beberapa perintah dalam tradisi Yahudi atau tradisi PL yang harus diberi bobot atau urutan prioritas lebih daripada yang lain. Pokok pertanyaannya di sini adalah tentang hukum mana (dalam tradisi Yahudi/PL) yang lebih penting dibanding yang lain.

Nah, lagi-lagi Yesus menjawab dengan cermat di sini, bahwa sebenarnya tidak ada hukum yang lebih penting dibanding yang lain; menurut Yesus, hukum dalam tradisi Yahudi/PL itu sama-sama unggul, sama-sama hebat, sama-sama penting. Yesus menjawab hukum yang sama-sama penting itu dengan mengutip dua teks penting dalam tradisi Yahudi/PL: pertama, versi Shema Israel dari Ulangan 6:4-5, kemudian, Imamat 19:18.

Selengkapnya Yesus menjelaskan kedua kutipan PL itu di ayat 29-31: “Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kemudian Yesus menutup atau menyimpulkan bahwa kedua hukum itu sama-sama penting. Dia berkata di ayat 31b: “TIDAK ADA HUKUM LAIN YANG LEBIH UTAMA DARI PADA KEDUA HUKUM INI.”

Jadi, Yesus sama sekali tidak menyatakan bahwa mengasihi Tuhan Allah lebih penting daripada mengasihi sesama; atau sebaliknya, Dia tidak mengatakan bahwa mengasihi sesama lebih penting daripada mengasihi Tuhan Allah. Menurut Yesus: DUA-DUANYA SAMA PENTINGNYA; DUA-DUANYA SAMA UNGGULNYA; DUA-DUANYA SAMA HEBATNYA. Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengatakan atau menganggap bahwa yang satu prioritas sedangkan yang lain nomor dua, nomor tiga, nomor empat, dan seterusnya.

Apabila kita perhatikan dengan cermat perkataan Yesus tentang hal mengasihi, maka kita menemukan bahwa Yesus menempatkan kedua hal mengasihi itu dalam kualitas yang sama. Kita harus mengasihi Allah “dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Mengasihi Tuhan Allah dengan SEGENAP HIDUP kita berarti seluruh elemen/aspek hidup kita harus menjadi alat dan tempat untuk mengasihi Allah. Kemudian, kasih pada sesama manusia yang disebutkan sesudahnya dipandang oleh Yesus sebagai “hukum yang sama” dengan hal mengasihi Tuhan Allah. Artinya, mengasihi Allah yang menuntut kesegenapan hidup kita, harus hadir sepenuhnya lewat kasih pada sesama kita.

Yesus hendak mengatakan bahwa Allah adalah segala-galanya bagi kita, dan oleh karena itu segala-galanya itu harus terwujud dalam kasih kita kepada sesama manusia. Akhirnya, ahli Taurat tadi mendapatkan pencerahan dari jawaban Yesus ini. Pada ayat 33 ahli Taurat ini berkata: “Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” Dan Yesus pun memuji ahli Taurat itu dengan berkata: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” (ay. 34). Artinya, orang yang mampu mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hidupnya, dan pada saat yang sama mampu mengasihi sesama manusia, sesungguhnya melebihi “semua korban bakaran dan korban sembelihan,” melebihi ibadah ritualistik kita; dan orang-orang yang mengasihi Tuhan Allah dan pada saat yang sama mengasihi sesama manusia sebenarnya “tidak jauh dari Kerajaan Allah!”

Apa yang paling besar dalam hidup ini adalah kasih. Itulah yang dikatakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 13:13 “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Secara eskatologis, pada akhir zaman nanti, di kota Allah yang kudus, kita tidak membutuhkan iman dan pengharapan lagi karena keduanya sudah tergenapi dalam Kerajaan Allah itu. Apa yang akan kita terus hidupi dalam kota Allah yang kudus kelak, yaitu KASIH; kasih kepada Allah dan pada saat yang sama kasih kepada sesama kita.


1 Yohanes 4:21
Dan perintah ini kita terima dari Dia: barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya

Yesus Menaklukkan Roh Jahat (Lukas 8:26-39)

Khotbah Minggu, 22 Juni 2025 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo Hari ini kita diajak Lukas menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat di tanah Ger...