Sabtu, 02 November 2024

Mengasihi Tuhan Allah dan Sesama Manusia (Markus 12:28-34)

Bahan Khotbah Minggu, 3 November 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

28 Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?”
29 Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.
30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
32 Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.
33 Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.”
34 Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.

Nas khotbah hari ini muncul di tengah-tengah atau berada dalam konteks perbedaan pendapat, pertentangan, bahkan permusuhan antara kelompok pemimpin Yahudi, yakni imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, tua-tua Yahudi, orang-orang Farisi, orang-orang Saduki, dan orang-orang Herodian, dengan Tuhan Yesus. Para pemimpin Yahudi ini berupaya menjebak Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa menjatuhkan Dia. Bahkan, mereka tidak segan-segan memuji Yesus, seolah-olah mereka percaya pada Yesus (Markus 12:14), padahal Yesus tahu bahwa pujian itu hanyalah jebakan saja. Istilahnya “nifanuko bua mbala, lalulugö yawa sakali, ena’ö aekhu tou” (seperti memetik/mengambil buah pepaya, diseruduk/disorong/didorong dulu ke atas, supaya kemudian buah pepaya itu jatuh ke bawah).

Dalam menanggapi sikap dan pertanyaan jebakan dari para pemimpin Yahudi ini, Yesus sangat hati-hati. Kadang Dia tidak memberi jawaban langsung; Dia malah mengajukan pertanyaan kembali kepada mereka (ketika mereka mempertanyakan dari mana kuasa-Nya, dan kemudian dijawab Yesus dengan bertanya kepada mereka ‘dari mana baptisan Yohanes, apakah dari surga atau dari dunia,’ Mrk. 11:27-33); kadang Ia menjawab dengan kalimat yang bermakna ganda (tentang membayar pajak kepada Kaisar, 12:13-17); atau menanggapi dengan samar-samar atau kurang jelas (ketika ada pertanyaan tentang perempuan yang pernah menikah dengan tujuh orang bersaudara, siapakah nanti yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan, 12:18-27). Inti jawaban Yesus kepada mereka tentang suami perempuan itu pada hari kebangkitan adalah dengan meluruskan pemahaman orang-orang Saduki itu tentang siapakah Allah yang sebenarnya, yaitu bahwa: “Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (ay. 27).

Pertanyaan-pertanyaan para pemimpin Yahudi itu benar-benar menempatkan Yesus dalam posisi yang “dilematis dan problematis,” karena tujuan mereka hanya untuk “menguji/menjebak” Yesus, supaya ada alasan bagi mereka untuk menjatuhkan Dia. Tetapi, kita bersyukur karena Yesus tidak terjebak sama sekali dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjatuhkan itu. Dia selalu menjawab dengan cermat, sehingga membuat mereka bingung sendiri, dan pada teks khotbah yang telah kita bacakan tadi, di ayat 34b dikatakan bahwa “seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.”

Tetapi, tidak semua juga para pemimpin Yahudi bertentangan atau bermusuhan dengan Yesus. Ada memang orang yang sungguh-sungguh mengajukan pertanyaan kepada-Nya untuk mendapatkan kepastian yang sesungguhnya. Dalam teks khotbah hari ini, tadi dikatakan bahwa ada seorang pemimpin Yahudi, yaitu seorang ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus: “Hukum manakah yang paling utama?” Pertanyaan ahli Taurat ini muncul karena ada beberapa perintah dalam tradisi Yahudi atau tradisi PL yang harus diberi bobot atau urutan prioritas lebih daripada yang lain. Pokok pertanyaannya di sini adalah tentang hukum mana (dalam tradisi Yahudi/PL) yang lebih penting dibanding yang lain.

Nah, lagi-lagi Yesus menjawab dengan cermat di sini, bahwa sebenarnya tidak ada hukum yang lebih penting dibanding yang lain; menurut Yesus, hukum dalam tradisi Yahudi/PL itu sama-sama unggul, sama-sama hebat, sama-sama penting. Yesus menjawab hukum yang sama-sama penting itu dengan mengutip dua teks penting dalam tradisi Yahudi/PL: pertama, versi Shema Israel dari Ulangan 6:4-5, kemudian, Imamat 19:18.

Selengkapnya Yesus menjelaskan kedua kutipan PL itu di ayat 29-31: “Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kemudian Yesus menutup atau menyimpulkan bahwa kedua hukum itu sama-sama penting. Dia berkata di ayat 31b: “TIDAK ADA HUKUM LAIN YANG LEBIH UTAMA DARI PADA KEDUA HUKUM INI.”

Jadi, Yesus sama sekali tidak menyatakan bahwa mengasihi Tuhan Allah lebih penting daripada mengasihi sesama; atau sebaliknya, Dia tidak mengatakan bahwa mengasihi sesama lebih penting daripada mengasihi Tuhan Allah. Menurut Yesus: DUA-DUANYA SAMA PENTINGNYA; DUA-DUANYA SAMA UNGGULNYA; DUA-DUANYA SAMA HEBATNYA. Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengatakan atau menganggap bahwa yang satu prioritas sedangkan yang lain nomor dua, nomor tiga, nomor empat, dan seterusnya.

Apabila kita perhatikan dengan cermat perkataan Yesus tentang hal mengasihi, maka kita menemukan bahwa Yesus menempatkan kedua hal mengasihi itu dalam kualitas yang sama. Kita harus mengasihi Allah “dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Mengasihi Tuhan Allah dengan SEGENAP HIDUP kita berarti seluruh elemen/aspek hidup kita harus menjadi alat dan tempat untuk mengasihi Allah. Kemudian, kasih pada sesama manusia yang disebutkan sesudahnya dipandang oleh Yesus sebagai “hukum yang sama” dengan hal mengasihi Tuhan Allah. Artinya, mengasihi Allah yang menuntut kesegenapan hidup kita, harus hadir sepenuhnya lewat kasih pada sesama kita.

Yesus hendak mengatakan bahwa Allah adalah segala-galanya bagi kita, dan oleh karena itu segala-galanya itu harus terwujud dalam kasih kita kepada sesama manusia. Akhirnya, ahli Taurat tadi mendapatkan pencerahan dari jawaban Yesus ini. Pada ayat 33 ahli Taurat ini berkata: “Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” Dan Yesus pun memuji ahli Taurat itu dengan berkata: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” (ay. 34). Artinya, orang yang mampu mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hidupnya, dan pada saat yang sama mampu mengasihi sesama manusia, sesungguhnya melebihi “semua korban bakaran dan korban sembelihan,” melebihi ibadah ritualistik kita; dan orang-orang yang mengasihi Tuhan Allah dan pada saat yang sama mengasihi sesama manusia sebenarnya “tidak jauh dari Kerajaan Allah!”

Apa yang paling besar dalam hidup ini adalah kasih. Itulah yang dikatakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 13:13 “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Secara eskatologis, pada akhir zaman nanti, di kota Allah yang kudus, kita tidak membutuhkan iman dan pengharapan lagi karena keduanya sudah tergenapi dalam Kerajaan Allah itu. Apa yang akan kita terus hidupi dalam kota Allah yang kudus kelak, yaitu KASIH; kasih kepada Allah dan pada saat yang sama kasih kepada sesama kita.


1 Yohanes 4:21
Dan perintah ini kita terima dari Dia: barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya

2 komentar:

Yesus Menaklukkan Roh Jahat (Lukas 8:26-39)

Khotbah Minggu, 22 Juni 2025 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo Hari ini kita diajak Lukas menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat di tanah Ger...